Reporter: Petrus Dabu | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kementerian Kehutanan akan memperbaharui peta indikatif kawasan hutan setiap enam bulan. Pembaharuan ini bisa menyebabkan luas kawasan hutan yang dimoratorium berubah.
Sekretaris Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, pembaharuan ini untuk memberikan kepastian tata batas kawasan hutan dengan yang bukan. Berdasarkan peta indikatif saat ini, total luas kawasan mencapai 132 juta hektare (ha).
Dengan rincian, kawasan hutan degradasi seluas 35,4 juta ha, kawasan hutan yang sudah mendapat izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 25 juta ha, dan Hutan Tanaman Industri (HTI) 9,4 juta ha. Dan luas kawasan hutan yang masuk dalam cakupan moratorium mencapai 62 juta ha ditambah 2 juta ha area penggunaan lain yan bergambut.
Dari 62 juta ha kawasan hutan yang dimoratorium, rinciannya: Sumatera seluas 11.258.870 ha, pulau Jawa 886.020 ha, Bali dan Nusa Tenggara seluas 1.484.300 ha, Kalimantan 15.904.650 ha, Maluku 1.917.400 dan Papua seluas 23.055.300 ha.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Transtoto Handadhari mendukung pembaharuan peta indikatif kawasan hutan ini. Dia beralasan skala peta yang ada saat ini terlalu kecil.
Peta yang ada saat ini berskala 1:19.000.000. Rencananya, Kementerian Kehutanan menyiapkan peta baru dengan skala 1:250.000.
Transtoto mengatakan, peta ini menjadi kunci keberhasilan moratorium selama dua tahun untuk menentukan zonasi yang boleh dan tidak boleh dilakuakan sesuatu selama dua tahun pemberlakuan moratorium. “Peta ini harus disusun dengan cermat,”ujarnya.
Dalam membuat peta ini, dia mengatakan, Kementerian Kehutanan harus empertimbangan peta posisi lahan yang mengindikasikan lahan-lahan yang rawan bencana. Artinya, kata dia dalam membuat peta, tidak hanya mempertimbangkan apakah itu kawasan hutan alam primer atau gambut, tetapi juga daerah yang rawan bencana, juga masuk dalam cakupan moratorium. “Kalau itu rawan bencana walaupun bukan hutan alam primer dan gambut harus dimoratorium juga,”ujarnya.
Walhi minta direvisi
Sementara organisasi masyarakat sipil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merevisi lagi Inpres tersebut. Menurut Walhi cakupan moratorium di hutan alam primer menunjukkan Inpres tersebut tidak memiliki nilai lebih karena hutan primer memang seharusnya tidak boleh dijamah lagi.
Aktifis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Teguh Surya mengatakan Inpres ini justru menunjukkan kemunduran karena karena adanya diktum pengecualian di dalamnya. “Moratorium tidak menjawab upaya untuk menyelamatkan hutan itu sendiri karena yang diselamatankan adalah kawasan-kawasan yang sudah harus selamat. Nah kemudian ada pengecualian-pengecualian konversi di hutan itu,”ujarnya pekan lalu.
Walhi juga mengkritik jangka waktu moratorium yang hanya dua tahun, tanpa menyebutkan apa yang selanjutkan dilakukan setelah dua tahun itu. “Kami melihat efektifnya Cuma setahun,apa yang bisa dibuat dalam waktu setahun,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News