kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.587.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.370   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.155   47,14   0,66%
  • KOMPAS100 1.057   5,10   0,48%
  • LQ45 832   4,41   0,53%
  • ISSI 214   1,71   0,81%
  • IDX30 429   2,76   0,65%
  • IDXHIDIV20 512   2,62   0,51%
  • IDX80 121   0,63   0,53%
  • IDXV30 124   0,17   0,14%
  • IDXQ30 141   0,95   0,68%

Pertumbuhan Ekonomi RI Sulit Capai Target Imbas Kebijakan Proteksi Perdagangan Trump


Minggu, 19 Januari 2025 / 14:56 WIB
Pertumbuhan Ekonomi RI Sulit Capai Target Imbas Kebijakan Proteksi Perdagangan Trump
ILUSTRASI. Salah satu kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang paling dikhawatirkan adalah terkait tarif perdagangan yang bisa berimbas pada perekonomian Indonesia.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Donald Trump akan dilantik untuk masa jabatan keduanya sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Senin (20/1) waktu AS atau Selasa waktu Indonesia. Salah satu kebijakan Donald Trump yang paling dikhawatirkan adalah terkait tarif perdagangan yang bisa berimbas pada perekonomian Indonesia.

Misalnya saja terkait rencana kebijakan tarif 10% untuk semua impor dan 60% spesifik untuk produk dari China. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman berpendapat, kebijakan tarif tersebut dinilai dapat memicu perang dagang global.

Bahkan, Rizal melihat, bila perang dagang tersebut terjadi, maka berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 0,3% atau lebih, terutama jika negara lain turut memberlakukan kebijakan serupa.

“Diproyeksikan pertumbuhan ekonomi lebih besar tantangannya dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 2025, sebesar 5,2%. Diperkirakan target pertumbuhan tercapai sebesar 5,0% dalam skenario tersebut,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (19/1).

Baca Juga: Peringatan IMF, Kebijakan Trump Bisa Meningkatkan Biaya Utang Negara Berkembang

Rizal menggambarkan, bila perang dagang terjadi maka bisa mempengaruhi harga komoditas global. Mengingat permintaan dari China yang fluktuatif, maka akan berpengaruh terhadap ekspor komoditas unggulan Indonesia.

Sebagaimana diketahui, ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti minyak kelapa sawit dan batu bara, kemungkinan akan menghadapi penurunan harga dan permintaan. Pada muaranya akan berdampak negatif pada neraca perdagangan dan pendapatan nasional.

Padahal komoditas penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar sepanjang 2024 adalah berasal dari AS, nilainya mencapai US$ 16,84 miliar, dengan nilai ekspor mencapai US$ 28,31 miliar dan impor US$ 9,46 miliar.

Adapun Rizal menambahkan, dari sisi pasar keuangan, kebijakan tarif yang agresif bisa mendorong naiknya inflasi di AS mendorong Federal Reserve untuk menunda penurunan suku bunga.

“Hal ini dapat memperketat likuiditas global, mempersulit bank-bank Indonesia dalam ekspansi, dan mengurangi aliran modal masuk ke pasar domestik,” ungkapnya.

Di samping itu, Rizal juga melihat kebijakan proteksionis AS dapat mengganggu rantai pasok global dan menurunkan permintaan ekspor Indonesia. Sektor-sektor seperti manufaktur dan pertambangan kemungkinan akan mengalami penurunan produksi dan pendapatan.

Meskipun menghadapi tantangan, menurut Rizal, pemerintah bisa memanfaatkan peluang dengan mengekspor komoditas yang memiliki permintaan tinggi di pasar AS. Misalnya saja, produk tekstil dan produk tekstil, karet dan produk karet, serta alas kaki.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2024 penyumbang surplus terbesar dari AS adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85), pakaian dan aksesorisnya atau rajutan (HS 61), dan alas kaki (HS 64).

“Diversifikasi ekspor ke produk-produk bernilai tambah tinggi, seperti elektronik dan furnitur, juga dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar AS,” tambahnya.

Meski begitu, peranan pemerintah dalam memfasilitasi pemulihan sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat diperlukan. Tak hanya dalam kebijakan namun juga dalam operasionalnya, seperti melakukan penguatan infrastruktur ekspor dengan meningkatkan konektivitas pelabuhan dan efisiensi logistik untuk mendukung ekspor, serta melakukan diplomasi ekonomi dengan meningkatkan lobi diplomatik dengan AS untuk memperluas akses pasar.

Sejalan dengan itu, Rizal juga menekankan dorongan peluang impor tersebut akan sangat bergantung pada langkah mitigasi terhadap risiko proteksionisme AS.

Baca Juga: Donald Trump Kembali ke Gedung Putih dengan Kekuatan Lebih Besar

Menurut Rizal, tanpa strategi yang kuat, surplus neraca perdagangan dengan AS berpotensi stagnan atau bahkan menurun, terutama jika kebijakan tarif melemahkan permintaan dan meningkatkan tekanan persaingan di pasar AS.

Sementara itu, pemerintah disarankan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa kebijakan untuk mencegah potensi neraca perdagangan menurun pada tahun ini.

Diantaranya, diversifikasi ekspor dengan fokus pada nilai tambah dan keberlanjutan, memanfaatkan diplomasi perdagangan untuk mengurangi hambatan tarif, dan meningkatkan efisiensi rantai pasok untuk tetap kompetitif meskipun ada kenaikan tarif.

Selanjutnya: ADHI Catat Raihan Nilai Kontrak Baru Rp 20 Triliun per Desember 2024

Menarik Dibaca: Film 1 Kakak 7 Ponakan Siap Sentuh Hati Penonton Bioskop

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×