Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. United Nation (UN) Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) dalam laporan Economic and Social Survey of Asia Pacific 2017, memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini mencapai 5,2% year on year (YoY), lebih tinggi dari tahun lalu yang sebesar 5,02%. Bahkan, UN ESCAP memproyeksi, pertumbuhan ekonomi 2018 bisa mencapai 5,3% YoY.
Pihaknya melihat, pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh konsumsi swasta. Sekretaris Eksekutif UN ESCAP Shamshad Akhtar menjelaskan, konsumsi swasta di tahun ini masih akan menjadi penopang utama pertumbuhan, di tengah inflasi yang cenderung rendah.
Selain itu, laju pertumbuhan tersebut juga didorong oleh perbaikan kinerja ekspor. "Kenaikan harga energi diharapkan mendukung pemulihan ekspor," kata dia, Senin (8/5).
Lebih lanjut Akhtar juga menjelaskan bahwa prospek pertumbuhan Indonesia bisa lebih optimis lagi. Dengan catatan, investasi berupa pembangunan infrastruktur seperti kilang minyak, jalan tol, dan rel kereta api, lebih kencang dari yang diperkirakan.
Selain investasi infrastruktur, pihaknya melihat pemerintah Indonesia berupaya menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi untuk lebih banyak menarik investasi asing.
Misalnya, menyederhanakan perizinan investasi untuk proyek infrastruktur berskala besar, merevisi daftar negatif investasi untuk meningkatkan kepemilikan asing di sektor pariwisata, logistik, dan e-commerce.
Sejalan dengan proyeksi UN ESCAP, Asisten Deputi Moneter dan Neraca Pembayaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,2% YoY. Sementara inflasi akhir tahun diperkirakan mencapai 4,2% YoY dengan menjaga inflasi pangan yang bergejolak di level 4%-5%.
Sementara itu, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Ridhwan mengatakan, pihaknya tetap memproyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini berada di kisaran 5%-5,4%. Hal tersebut didorong oleh menguatnya konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah yang solid, investasi, dan peningkatan ekspor sejalan dengan perbaikan ekonomi negara maju, yaitu Amerika Serikat (AS), China, dan Eropa.
Meski demikian, masih terdapat risiko yang berasal dari eksternal, berupa rencana pengurangan neraca dan kelanjutan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS serta kondisi geopolitik, seperti di Korea Utara.
Sementara risiko dari domestik, kata Ridhwan, berasal dari penyesuaian harga yang diatur pemerintah, konsolidasi perbankan dan non bank yang bisa berdampak pada belum optimalnya stimulus perekonomian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News