kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perlu ada kontrol dari pemerintah untuk menghindari transfer pricing


Senin, 29 Juli 2019 / 17:22 WIB
Perlu ada kontrol dari pemerintah untuk menghindari transfer pricing


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Transfer pricing kembali menjadi siasat perusahaan menghindari kewajiban pembayaran pajak terkait transaksi jual-beli. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membidik 51 produsen batubara untuk membuka data kontrak penjualan.

Pengamat perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menilai pemerintah perlu ambil alih mengontrol isu tersebut. Secara kesepakatan global, upaya untuk mencegah manipulasi transfer pricing dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau Arm's Length Principle (ALP) yang harus dibuktikan melalui suatu dokumentasi transfer pricing.

Baca Juga: Ditjen Pajak menunggu langkah KPK soal tranfer pricing perusahaan batubara

Kedua hal tersebut, baik prinsip kewajaran maupun dokumentasi transfer pricing, telah diatur dalam ketentuan pajak di Indonesia. Tidak hanya itu, melalui proyek Base Erosion ond Profit Shifting (BEPS), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 telah mengajukan format baru dokumentasi TP (Action 13) yang terdiri atas 3 dokumen.

Pertama, local file yang memperlihatkan kewajaran dari transaksi yang dilakukan wajib pajak. Kedua, master file memberikan gambaran usaha tentang grup usaha. Ketiga, country by country report yang memberikan data keuangan dan pajak seluruh anggota grup perusahaan setiap negara.

Baca Juga: KPK selidiki dugaan transfer pricing batubara, ini komentar Ditjen Minerba

Bawono menilai adanya dorongan transparansi tersebut diprediksi akan semakin membuat kesempatan untuk melakukan manipulasi TP semakin mengecil. Padahal, Indonesia sudah cukup responsif untuk mengadopsi ketiga format dokumentasi tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 213/PMK.03/2016.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengaku dalam PMK 213/PMK.03/2016 diatur kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan dokumen dan informasi mengenai penentuan harga transfer.

Di dalamnya menyangkut informasi tentang pihak-pihak afiliasi, transaksi yang terjadi, dan penentuan harga transfer sesuai kewajaran dan kelaziman usaha.

Baca Juga: Selidiki transfer pricing, KPK minta data kontrak dan realisasi harga jual batubara

Secara umum, Kata Bawono penghindaran pajak melalui skema manipulasi transfer pricing adalah sesuatu yang jadi sorotan secara global. Oleh karenanya pemerintah perlu lebih menegakkan skema aturan tersebut, dengan kontrol yang teratur.

Pada dasarnya transfer pricing adalah konsekuensi logis dari adanya transaksi bisnis antar perusahaan yang terafiliasi. Transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa tersebut pada dasarnya bertujuan untuk efisiensi, sinergi, dan mengurangi ketidakpastian bisnis.

Baca Juga: Soal transfer pricing batubara, APBI: Nampaknya pengusaha harus berpikir berkali-kali

“Akan tetapi, adanya pengendalian yang sama memungkinkan mereka untuk menetapkan harga transaksi afiliasi secara tidak wajar. Inilah yg disebut sebagai manipulasi transfer pricing,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Selasa (29/7).

Mengenai potensi penerimaan pajak dari sektor batubara, Bawono belum bisa komentar. Namun, transfer pricing perusahaan batubara ini barangkali membuat penerimaan pajak jadi melempem.

Dalam laporan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) realisasi pendapatan sumbangan sektor pertambangan periode Januari-Juni 2019 tercatat sebesar Rp 33,43 triliun. Anjlok 14,0% dibanding tahun lalu. Padahal, kontribusi pajak pertambangan di periode sama tahun lalu tumbuh fantastis 80,3%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×