Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai, saat ini perjanjian swap bilateral belum perlu untuk diaktifkan oleh Bank Indonesia (BI).
Mengingat, kondisi first line of defense masih solid untuk meredam capital flight (arus dana asing keluar) dalam jangka pendek, yang disebabkan oleh adanya wabah virus Corona (Covid-19).
Baca Juga: Indef: Intervensi BI menjaga rupiah masih belum cukup
"Apabila first line of defense seperti cadangan devisa, kebijakan makroekonomi, kebijakan makroprudensial, dan kebijakan fiskal bisa tetap solid, maka diperkirakan akan dapat meredam tekanan nilai tukar yang didorong oleh keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Minggu (5/4).
Sementara itu, perjanjian swap bilateral yang merupakan second line of defense, dinilai perlu terus diperkuat dalam rangka meredam tekanan nilai tukar setelah first line of defense dirasa sudah tidak dapat lagi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Menurut Josua, penguatan second line of defense diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar atas tersedianya buffer cadangan devisa (cadev) yang memadai bagi Indonesia. Selain itu, penguatan ini juga digunakan untuk mengantisipasi potensi FX liquidity shock ke depannya.
Baca Juga: Texas Chicken bakal listing 9 April, ini rencana penggunaan dana IPO Cipta Selera
"Dengan penguatan first line of defense dan second line of defense serta dikombinasikan dengan stimulus kebijakan fiskal, bauran kebijakan BI yang bersifat akomodatif, dan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bersifat Countercyclical, maka diperkirakan akan dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, kata Josua, kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, telah menunjukkan adanya koordinasi antarlembaga yang baik.