Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketidakpastian perekonomian global semakin tinggi, dipicu konflik antara Iran dan Israel yang kembali memanas, kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS), serta perang dagang antara AS dan China yang belum mencapai kesepakatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak dari kebijakan AS yang perlu diwaspadai tercermin dalam proposal kebijakan fiskal mereka, yakni kebijakan fiskal big and beautiful yang diperkirakan akan menambah defisit APBN AS secara signifikan, lebih dari US$ 10 triliun dalam 10 tahun terakhir.
Tambahan defisit tersebut menimbulkan sentimen negatif terhadap kebijakan fiskal negara maju, khususnya AS. Hal ini memengaruhi persepsi terhadap risiko fiskal dan berdampak pada pergerakan suku bunga di AS dari sisi US Treasury.
Menurut Sri Mulyani, kombinasi dari dua faktor utama, yakni ketidakpastian perdagangan global dan meningkatnya ketegangan geopolitik serta keamanan hingga pecahnya konflik, telah menyebabkan gangguan signifikan pada rantai pasok komoditas (supply chain). Kondisi tersebut memicu dua risiko utama.
Baca Juga: APBN Defisit Rp 21 Triliun Per Akhir Mei 2025
Risiko tersebut diantaranya, ketidakpastian harga yang cenderung meningkat, seperti harga minyak. Di sisi lain, kondisi ekonomi global justru menunjukkan kecenderungan melemah. Hal ini menyebabkan tekanan inflasi naik bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
“Inilah kombinasi yang harus kita waspadai, karena sangat berisiko. Pelemahan ekonomi berdampak buruk, sementara kenaikan inflasi mendorong naiknya imbal hasil (yield) obligasi,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (17/6).
Sri Mulyani menjelaskan, baik disebabkan oleh faktor geopolitik maupun kebijakan fiskal, keduanya memberikan dampak negatif ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, karena turut menggerakkan nilai tukar dan suku bunga global.
Bendahara negara ini menambahkan, dari kondisi tersebut terlihat kecenderungan dampak negatif dari situasi global, terutama dari negara-negara besar yang signifikan seperti AS, China, Uni Eropa, Jepang, dan Inggris. Situasi ini menimbulkan tekanan terhadap sektor ekonomi, khususnya sektor manufaktur.
Data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur global pada Mei 2025 tercatat sebesar 49,6, terendah sejak Desember 2024. Ini menunjukkan bahwa secara global, sektor manufaktur mengalami kontraksi. Sebanyak 70,8% negara yang disurvei mengalami kontraksi, termasuk Indonesia yang mencatatkan PMI sebesar 47,4.
Sri Mulyani mencatat bahwa dari hasil survei, hanya 29,2% negara yang masih berada dalam fase ekspansi manufaktur, seperti India, Arab Saudi, AS, Australia, dan Rusia.
Artinya, mayoritas aktivitas manufaktur dunia saat ini sedang menurun. Ini merupakan dampak dari ketidakpastian geopolitik dan keamanan global yang semakin rapuh, sehingga turut memengaruhi aktivitas ekspor-impor, sektor manufaktur, dan arus modal keluar (capital outflow) secara global.
“Risiko bagi Indonesia juga patut diwaspadai. Melemahnya ekonomi global akan berdampak pada barang-barang ekspor Indonesia. Harga komoditas memang ada yang meningkat tajam, tetapi bukan karena faktor supply-demand, melainkan akibat disrupsi,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Sri Mulyani juga menyebut, kondisi nilai tukar cenderung mengalami volatilitas. Sementara itu, suku bunga utang mengalami kenaikan sebagai dampak dari kebijakan fiskal AS, yakni legislasi ekspansi fiskal yang saat ini sedang dibahas dari Kongres ke Senat AS.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Imbas Perang Iran-Israel, Menkeu Ingatkan Ketidakpastian Global
Selanjutnya: Kasus Izin Ekspor CPO, Kejagung Sita Uang Rp 11,88 Triliun dari Wilmar Group
Menarik Dibaca: Kredivo Indonesia Tunjuk Andre Rasjid sebagai Komisaris
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News