Reporter: Siti Masitoh | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyoroti kenaikan harga minyak mentah dunia akibat konflik antara Iran dan Israel. Pada hari pertama pecahnya perang antara kedua negara pada 15 Juni 2025 lalu saja, harga minyak naik lebih dari 18% dalam tiga hari dan mencapai US$ 75 per barel.
“Tadinya (harga minyak) ada di kisaran US$ 70 per barel, bahkan di bawah US$ 70 per barel untuk Brent. Itu terjadi kenaikan lonjakan bahkan sempat tertinggi US$ 78 per barel, naik sekitar 9%, meskipun sekarang mengalami koreksi di US$ 75 per barel,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (17/6).
Baca Juga: Kenaikan Harga Minyak Global Tak Goyahkan Surplus Dagang RI, Tapi Ada Ancaman dari AS
Sri Mulyani menjelaskan bahwa konflik geopolitik, khususnya di kawasan Timur Tengah, selalu berdampak langsung terhadap perubahan signifikan pada harga komoditas, nilai tukar rupiah, suku bunga, dan aliran modal asing (capital outflow). Menurutnya kondisi geopolitik yang memanas ini akan dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, Menkeu juga menyoroti ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang belakangan menunjukkan sedikit penurunan, seiring dengan inisiatif dari kedua pihak untuk memulai negosiasi. Namun hingga saat ini, belum ada titik terang dari proses tersebut.
Baca Juga: Saat Inggris Selesaikan Negosiasi Tarif Impor, Negara Lain Masih Cari Titik Temu
Ia menyampaikan bahwa selama belum tercapai kesepakatan dagang antara AS dan China, ketidakpastian perdagangan global masih tinggi.
“Hari ini diumumkan Presiden Donald Trump dengan Perdana Menteri Inggris adalah, trade deal antara AS dengan Inggris. Padahal AS menyampaikan adalah penerapan tarif kepada lebih dari 60 negara di dunia, namun yang baru mendapatkan persetujuan yakni baru satu negara yang diumumkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, bendahara negara tersebut menegaskan bahwa karena baru satu negara yang menyepakati perjanjian dagang dengan AS, ketidakpastian perdagangan global masih sangat tinggi. Apalagi, batas waktu 90 hari penundaan penerapan tarif resiprokal juga semakin dekat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News