Sumber: Kompas.co | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Etika kebangsaan di Indonesia telah mengalami kemerosotan, antara lain ditandai dengan relatif tingginya indikasi penyalahgunaan keuangan negara tahun 2012 sekitar Rp 25,7 triliun.
”Indikasi inefisiensi pada keuangan negara cenderung meningkat, seperti halnya tahun 2012 jumlahnya mencapai Rp 25,7 triliun. Ini karena etika kebangsaan pada bangsa kita telah mengalami penurunan drastis dari etika sosialnya. Selain itu, juga tidak paralel antara otonomi daerah dan semangat melayani daerah itu sendiri,” kata anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ali Masykur Musa, di Bandung, Sabtu (30/11).
Menurut Ali, otonomi daerah yang seharusnya menjadi sarana cepat melayani masyarakat ternyata hanya memindahkan kue atau aset ekonomi dari pusat ke daerah dan yang menikmati hanya kelompok atau golongan tertentu. ”Hal itu terbukti terdapat 309 kepala daerah di tingkat kabupaten, kota, dan pemerintah provinsi yang berurusan dengan aparat penegak hukum,” ujar Ali.
Guru Besar Pendidikan Politik Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Idrus Affandi menyatakan, fenomena tingginya penyalahgunaan keuangan negara itu menunjukkan semangat penyelenggaraan negara kian luntur. Pelayanan publik saat ini terkesan setengah-setengah. Hal itu karena dominasi kepentingan partai politik.
Bupati Flores Timur
Sementara itu, Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin alias Yosni diduga terlibat pungutan liar Rp 1 juta per desa bagi 189 desa di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dana hasil pungutan dimanfaatkan untuk menyusun proposal permohonan bantuan pembangunan infrastruktur desa di Jakarta. Bupati mengeluarkan surat pengantar pengajuan proposal tersebut. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Flores Timur Ramly Lamanepa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Flores Timur.
Koordinator Lapangan Gerakan Masyarakat Anti Korupsi Flores Timur Kanisius Soge di Larantuka, Sabtu, mengatakan, sesuai laporan Kepala Bagian Hukum Setda Flores Timur Saiman Peten Sili, Bupati Yosni mengakui menandatangani surat pengantar proposal bantuan. Pengakuan Yosni itu disampaikan di hadapan penyidik saat ia diperiksa sebagai saksi pada Jumat (1/11/2013) untuk kasus pungutan liar dengan tersangka Ramly.
”Anehnya pemberian surat pengantar oleh bupati itu dinilai kejaksaan bukan sebagai keterlibatan dalam kasus pungutan liar. Sepertinya ada yang tidak beres antara penyidik Kejaksaan Negeri Flores Timur dan Bupati Flores Timur,” kata Soge.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTT Mangihut Sinaga menyatakan, pungli itu atas kebijakan Kepala BPMD Flores Timur, bukan atas perintah bupati. Hasil pemeriksaan Kejaksaan Negeri Flores Timur, hanya Ramly yang terlibat. ”Kecuali ada bukti baru yang menguatkan keterlibatan bupati. Jika masyarakat punya bukti kuat, silakan lapor,” ujar Sinaga.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, Kupang, John Tuba Helan, meyakini pungli itu takkan dilakukan tanpa sepengetahuan bupati. ”Semua ini tergantung niat baik jaksa. Apakah betul mau memberantas korupsi atau mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok,” ujarnya. (SEM/KOR/Kompas Cetak)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News