Reporter: Noverius Laoli | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terus mendapat hambatan.
Kali ini yang tidak setuju adalah Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima Indonesia). Lima menolak alasan yang digunakan SBY dalam mengeluarkan Perpu ini tidak berdasar.
Direktur Lima Indonesia Ray Rangkuti mengatakan bahwa alasan yang digunakan SBY yakni bahwa perpu tersebut merupakan hasil pertemuan dengan lembaga tinggi negara dan perlunya menjaga kepercayaan terhadap MK, khususnya menjelang pemilihan umum 2014 dinilai mengada-ngada. Sebab alasan tersebut dijadikan sebagai hal genting oleh SBY untuk menerbitkan Perpu.
Menurut Lima, memang ada kekecewaan dan muncul ketidakpercayaan pada produk putusan MK. Namun, tentang bagaimana mengukur dengan jelas dan tepat bahwa kadar kekecewaan dan ketidakpercayaan itu telah sampai ke tahap situasi bangsa dalam keadaan genting, tidak jelas.
Sebab, jika melihat argumen Presiden, tidak terlihat secara eksplisit adanya sesuatu yang genting, kecuali asumsi bahwa ada kepercayaan masyarakat yang merosot dan akan dilaksanakannya pemilu tahun 2014.
Padahal, lanjut Ray, justru secara faktual, asumsi itu terbantahkan. Sejak kasus Akil tertangkap tangan, MK tetap bekerja sebagaimana mestinya sampai sekarang. Dalam dua minggu sejak kasus ini terjadi, MK bahkan sudah memutus beberapa perkara sengketa.
Sejauh ini, terang Ray, tak ada reaksi penolakan atau pengabaian masyarakat atas putusan tersebut. Bahkan pada permohonan sengketa di mana Akil menjadi tersangka suap, putusan hukumnya kemudian telah ditetapkan MK dan kiranya dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat. Jika begitu, Lima mempertanyakan dimana letak wibawa MK yang merosot itu hingga membuat suasana bangsa berada dalam kegentingan.
Lima menilai, bila SBY rajin dan cermat menyimak yang menjadi pertanyaan masyarakat saat ini adalah bukan soal putusan hukum MK secara keseluruhan. Tapi hanya berkisar pada putusan MK di mana Akil menjadi hakim panelnya. Artinya, ketidakpercayaan masyarakat pada MK masih terbatas, hanya berkutat pada soal putusan MK yang melibatkan Akil sebagai Hakim Panel. Maka dari itu, yang mencuat justru suara agar perpu tak perlu dikeluarkan dan sebaiknya perbaikan MK dilakukan melalui revisi UU MK.
Sementara, untuk alasan karena adanya kesamaan pandangan di antara para pemimpin negara juga tidak dapat dijadikan sebagai landasan. Ray bilang, setidaknya, karena seperti dinyatakan di atas, faktanya di lapangan unsur kegentingannya sudah hilang, juga ada reaksi yang cukup luas di DPR untuk menolak diterbitkannya perpu oleh Presiden.
Sejauh yang dapat direkam oleh Lima, setidaknya fraksi PDIP, Golkar, PKS, Hanura, PPP, dan Gerinda lebih mendukung agar dilakukan revisi terbatas atas UU MK dari pada diterbitkannya perpu. Tentu saja para pimpinan lembaga negara tersebut, khususnya legislatif, unsur pimpinannya tidak dengan sendirinya mewakili anggota legislatif secara keseluruhan. Jadi sekalipun misalnya unsur pimpinan DPR/DPD menyatakan setuju dengan penerbitan perpu, tidak dengan sendirinya hal itu merupakan sikap DPR secara keseluruhan. Suara pimpinan legislatif tetap saja hitungannya adalah satu.
Dengan semua pertimbangan ini, jelas Ray, dapat disimpulkan alasan-alasan genting yang menghajatkan dikeluarkannya perpu lebih banyak didasarkan pada asumsi dan imajinasi dari pada fakta di lapangan. Sekalipun prinsip dan substansi isi perpu merupakan ide yang tepat, tetapi menetapkan ide tersebut melalui perpu yang tidak jelas dasarnya merupakan kekeliruan yang pantas untuk ditolak.
Ide-ide tepat sejatinya ditetapkan melalui jalan yang tepat pula. Jalan yang mengundang partisipasi dan pelibatan masyarakat secara menyeluruh. Dengan semua pertimbangan di atas, Lima mendesak DPR menolak perpu ini disahkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News