Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pertumbuhan utang Indonesia yang lebih cepat dari pendapatan perlu diwaspadai. Sebab saat ini Debt Service Ratio (DSR) Indonesia melonjak ke level yang mengkhawatirkan.
Meningkatnya angka DSR ini sebagai sinyal bahwa ruang fiskal untuk belanja prioritas semakin tergerus. Hal ini memaksa pemerintah untuk mengambil langkah strategis agar risiko ekonomi tidak semakin membesar.
Berdasarkan data dari Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, DSR, yang mengukur rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara diproyeksikan mencapai 45% pada 2025 dan 40% pada 2026.
Baca Juga: Tak Seberuntung Jokowi, Pemerintahan Prabowo Dihantui Empat Krisis Ekonomi
Angka ini jauh melampaui ambang batas aman yang direkomendasikan sebesar 25% hingga 30%.
Menurutnya, peningkatan DSR Indonesia menandakan risiko fiskal yang semakin nyata yang akan dihadapi Presiden Prabowo Subianto.
"Ketika DSR-nya sudah tinggi, ini lampu kuning," ujar Wija dalam Webinar: Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo, Rabu (22/1).
Dengan kondisi tersebut, kapasitas Prabowo untuk menambah utang ke depannya akan semakin menipis.
"Pada masa pemerintahan Jokowi, berutang itu sangat memungkinkan karena masih punya kapasitas berutang. Bedanya sekarang, Prabowo sudah tidak punya kapasitas berutang lagi," katanya.
Baca Juga: Asumsi Suku Bunga SBN 10 Tahun Disepakati 7,0% di 2025, Ekonom: Berpotensi Terlampaui
Wija menyebut, tingginya DSR juga memengaruhi persepsi investor terhadap surat utang Indonesia. Dengan risiko yang meningkat, investor cenderung meminta imbal hasil yang lebih tinggi.
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa sejak Prabowo menjabat, tren kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah Indonesia berpotensi membebani anggaran negara.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun ini telah mencapai lebih dari 7%. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan bunga utang tertinggi di Asia Tenggara.
"Artinya kalau imbal hasilnya 7% lebih, ini akan berkorelasi dengan bunga utang pemerintah yang akan semakin berat," ujar Bhima dalam Konferensi Pers, Selasa (21/1).
Baca Juga: Asumsi Rupiah dan Bunga SBN Kembali Berubah
Menurutnya, bunga utang yang tinggi ini mencerminkan risiko yang meningkat pada profil surat utang pemerintah, yang dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan fiskal dan ekonomi.
"Yang jelas dari bunga utang yang tinggi ini mengindikasikan beberapa hal, salah satunya adalah ada ketidakpastian kebijakan yang membuat profil dari risiko surat utang pemerintah ini meningkat," katanya.
Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan, lonjakan angka DSR ini tidak terlepas dari dampak kebijakan pemerintah selama pandemi Covid-19 yang memperbesar defisit fiskal hingga melebihi ambang batas 3%.
Myrdal menilai, pemerintah perlu lebih hati-hati dalam kebijakan pembiayaan negara agar DSR tidak semakin membenani perekonomian.
Baca Juga: Defisit APBN Berpotensi Melebar, Utang Luar Negeri Pemerintah Terancam Naik
Salah satu solusi yang disarankannya adalah penerbitan utang bertenor panjang untuk mengurangi tekanan pada keuangan negara dalam jangka pendek.
"Supaya menghindari DSR-nya tinggi ya mau tidak mau kita kalaupun ingin ada penerbitan hutang sebaiknya menerbitkan hutang yang bertenor panjang," ujar Myrdal kepada Kontan.co.id, Kamis (23/1).
Meski begitu, Myrdal optimistis ruang fiskal Indonesia masih cukup terbuka. Ia menekankan bahwa dibandingkan dengan negara lain, rasio total utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia masih relatif rendah.
"Saya lihat ruang fiskal kita ya masih cukup terbuka ya walaupun ya setidaknya dengan indikator DSR ini menjadi warning ya kalau untuk penerbitan utang jangka pendek sebaiknya jangan terlalu agresif," pungkasnya.
Selanjutnya: Penghematan Anggaran Rp 306,69 Triliun, Bakal Direlokasi untuk Program Apa?
Menarik Dibaca: KA Parahyangan Kembali Beroperasi 1 Februari 2025, Simak Tarif dan Jadwalnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News