kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha Khawatir Revisi UMP DKI Jakarta yang Tak Sesuai Aturan Diikuti Pemda Lain


Senin, 20 Desember 2021 / 16:21 WIB
Pengusaha Khawatir Revisi UMP DKI Jakarta yang Tak Sesuai Aturan Diikuti Pemda Lain
ILUSTRASI. Pengusaha khawatir revisi UMP DKI Jakarta yang menabrak aturan akan diikuti oleh pemda lain.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pengusaha menilai keputusan Gubernur DKI Jakarta yang merevisi penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2022 tidak sesuai regulasi.

Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Adi Mahfudz Wuhadji mengkhawatirkan keputusan Gubernur DKI Jakarta yang merevisi UMP 2022 akan diikuti oleh pemerintah daerah (pemda) lainnya. Keputusan Gubernur DKI Jakarta juga dinilai membuat kondisi kebijakan pengupahan nasional tidak kondusif.

“Implikasi inilah yang kami khawatirkan, ini berpikir Indonesia, tidak hanya di DKI Jakarta saja,” ujar Adi dalam konferensi pers virtual, Senin (20/12).

Padahal, lanjut Adi, penetapan UMP DKI Jakarta 2022 yang ditetapkan pada November lalu sudah sesuai formula yang terdapat dalam PP 36/2021 tentang Pengupahan. Penetapan UMP DKI Jakarta 2022 pada November lalu juga sudah melibatkan tripartit yakni pemerintah, pengusaha dan pekerja, termasuk didalamnya ahli.

Baca Juga: Kenaikan UMP DKI 5,1% Ditolak Pengusaha, Bakal Gugat ke PTUN

Adi menyatakan, revisi UMP berdampak pada proyeksi dunia usaha dalam menjalankan bisnisnya pada tahun 2022. Padahal, investor dan dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, termasuk dalam pengaturan UMP yang sesuai regulasi.

“Dampak revisi upah pada proyeksi dunia usaha di 2022 tentu sangat membingungkan, jadi proyeksi kami cash flow in out-nya jadi enggak karu-karuan,” ujar Adi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, Gubernur DKI Jakarta, telah melanggar regulasi pengupahan yang berlaku saat ini, terutama Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Yaitu pasal 26 mengenai cara perhitungan upah minimum dan pasal 27 mengenai upah minimum propinsi .

Selain itu, revisi ini bertentangan dengan pasal 29 tentang waktu penetapan upah minimum yang selambat-lambatnya ditetapkan pada tanggal 21 November 2021. “Di dalam PP 36/2021, kita tidak mengenal perubahan (revisi UMP),” ucap Hariyadi.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta secara sepihak melakukan revisi UMP DKI Jakarta 2022 tanpa memperhatikan pendapat dunia usaha, khususnya Apindo DKI Jakarta yang menjadi bagian dari Dewan Pengupahan Daerah sebagai unsur dunia usaha (pengusaha). Padahal, Dewan Pengupahan Daerah terdiri dari unsur Tripartit yakni pemerintah, serikat pekerja/buruh dan pengusaha.

“Dengan revisi UMP DKI Jakarta 2022 tersebut maka upaya untuk mengembalikan prinsip upah minimum sebagai jaring pengaman sosial (JPS atau social safety net) bagi pekerja pemula tanpa pengalaman tidak terwujud dan kembali menjadi upah rata-rata sehingga penerapan struktur skala upah akan sulit dilakukan karena ruang/jarak antara upah minimum dengan upah diatas upah minimum menjadi kecil,” jelas Hariyadi.

Dihubungi secara terpisah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan revisi penetapan UMP.

“Setahu saya aturan dalam PP 36/2021 sudah jelas. Daerah tidak punya ruang untuk mulur mungkret,” kata Ganjar kepada Kontan.co.id, Senin (20/12).

Baca Juga: Buruh Dorong Gubernur Seluruh Indonesia Ikut Langkah Anies Baswedan Revisi UMP

Ganjar mengatakan, Pemprov Jawa Tengah mendorong agar pelaksanaan struktur dan skala upah (SUSU) dilaksanakan dengan baik. Hal ini agar ada kenaikan upah bagi buruh/pekerja yang telah bekerja lebih dari satu tahun.

“Maka di Jateng kami dorong struktur dan skala upah untuk dilaksanakan agar ada kenaikan upah untuk buruh yang telah bekerja lebih dari 1 tahun,” ucap Ganjar.

Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Chairul Harahap mengatakan, Kemnaker menyayangkan keputusan tersebut jika seandainya benar dilaksanakan. Terlebih penetapan UMP tidak sesuai dengan regulasi yang ada yaitu PP nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan aturan pelaksana UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Ini (PP 36/2021) memang harus kita laksanakan dan kita junjung amanat pelaksanaan UU (UU 11/2020),” ujar Chairul saat dihubungi, Kontan.co.id, Senin (20/12).

Chairul menyebut, Kementerian Ketenagakerjaan bersama kepala daerah mesti tunduk dan taat untuk melaksanaan UU dan aturan pelaksananya. Sebab itu, setiap kepala daerah menerbitkan kebijakan, mesti berpedoman pada sistem hukum dan ketatanegaraan. Artinya, kebijakan pengupahan juga perlu dilaksanakan sesuai regulasi yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Pelaksanaan yang ditetapkan tidak sesuai perundang-undangan berarti bertentangan dengan UU atau tidak sesuai dengan regulasi yang diatur,” ujar Chairul.

Baca Juga: Anies Naikkan UMP 2022 DKI Jakarta, OPSI: Sudah Tepat dan Jadi Titik Kompromi

Lebih lanjut Chairul mengatakan, pihaknya belum mengetahui apakah kebijakan revisi UMP 2022 yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta akan dilakukan atau tidak. Chairul mengatakan, Kemnaker menjunjung tinggi PP 36/2021 dalam pelaksanaan kebijakan pengupahan.

“Bagaimana berkaitan dengan kepala daerah yang tidak melaksanakan itu, itu kan nanti diatur kembali dalam konteks UU 23/2014 tentang pemerintah daerah, bagaimana hal ini dan konsekuensinya,” ucap Chairul.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, mendorong para pengusaha agar menerapkan struktur dan skala upah (SUSU) di perusahaannya dengan memperhatikan kemampuan dan produktivitas.

Menurut Menaker, penerapan SUSU di perusahaan agar upah yang berkeadilan dan menguntungkan pihak pengusaha dan pekerja/buruh dapat terwujud.

"Apabila penerapan struktur dan skala upah dapat dilakukan oleh seluruh pihak akan mendorong perekonomian yang pada ujungnya meningkatkan daya saing kita sebagai bangsa Indonesia," ucap Ida.

Menaker menyayangkan masih sedikitnya perusahaan yang menetapkan SUSU. Hingga kini, katanya, baru sebanyak 23 persen perusahaan yang menerapkan SUSU.

Melihat masih sedikitnya perusahaan yang menerapkan SUSU, Ia menyatakan akan terus mendorong forum-forum dialog sehingga kesadaran sosial tentang penerapan struktur dan skala upah dapat terwujud.

"Saya akan terus mengajak perusahaan-perusahaan lain agar menerapkan struktur dan skala upah. Ini tidak akan tercapai kalau hanya Pemerintah yang ngotot, tapi dari pihak perusahaan juga harus ngotot. Makanya ini butuh komitmen bersama," ujar Ida.

Lebih lanjut Ida mengatakan, pada tahun 2022, pihaknya akan lebih meningkatkan berbagai bentuk sosialisasi dan bimbingan teknis SUSU.

Menurutnya, jika masih terdapat perusahaan yang tidak melaksanakan SUSU, akan dikenakan sanksi. Sanksinya mulai dari administratif berupa teguran tertulis hingga pembekuan kegiatan usaha.

Baca Juga: Anies Baswedan naikkan UMP 2022 DKI Jakarta, Kemnaker Angkat Suara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×