Reporter: Abdul Basith | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla sebanyak 15 perjanjian telah diselesaikan.
Bahkan tahun depan ditargetkan akan selesai 12 perjanjian lainnya. Perjanjian dagang memang digenjot untuk diselesaikan mengingat hal itu menjadi ruang untuk menggenjot ekspor Indonesia.
Baca Juga: Wajib label halal per hari ini, jutaan industri lokal berada dalam ketidakpastian
Meski begitu, pelaku usaha mengingakan akan kemungkinan jangka pendek dari perjanjian dagang. Salah satunya adalah kerugian terkait perdagangan dalam perjanjian dagang.
"Kita harus bersiap dalam jangka pendek kita mengalami kerugian karena kita perlu beradaptasi," ujar Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (20/10).
Shinta bilang manfaat perjanjian dagang tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek. Perjanjian dagang baru dapat dirasakan manfaatnya pada jangka menengah dan panjang.
Itu pun diingatkan Shinta dengan catatan agar manfaat perjanjian dagang dapat dirasakan. Sosialisasi terkait perjanjian dagang harus dilakukan kepada pelaku usaha.
Pemberlakuan perjanjian dagang memang tidak langsung berlaku secara keseluruhan. Shinta bilang terdapat metode phase out dalam liberalisasi perjanjian dagang.
"Dalam arti manfaat liberalisasi perdagangan yang dikomitmenkan dalam perjanjian tersebut “dicicil” selama periode waktu tertentu agar tidak terjadi shock besar terhadap ekonomi kedua negara," terang Shinta.
Baca Juga: Apindo sebut perjanjian IK CEPA dapat memperbesar nilai perdagangan Korea-Indonesia
Shinta meyakini perjanjian dagang yang dikebut penyelesaiannya selama ini memberikan keuntungan. Seluruh perjanjian tersebut dinilai memberikan potensi untuk meningkatkan akses pasar.
Pasalnya hampir seluruh perjanjian dagang yang dimiliki Indonesia memberikan akses pasar lebih dari 80%. Bahkan ada yang bisa mencapai akses pasar 90% hingga 100%.
Antara lain perjanjian dengan ASEAN, Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN, Australia, New Zealand (AANZFTA), FTA ASEAN - China (ACFTA), ASEQN - KOREA FTA, dan perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia Jepang (IJEPA).
Selaim itu Indonesia juga menyelesaikan perjanjian dengan skema Kerja Sama Ekonomi Komperhensif (CEPA). Antara lain Indonesia - Australia CEPA, Indonesia - EFTA CEPA, dan Indonesia - Korea CEPA.
"Jadi secara skema memang sangat menjanjikan," jelas Shinta.
Sebelumnya Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengklaim telah menyelesaikan 15 perjanjian dagang. Angka tersebut jauh dibandingkan yang diselesaikan pemerintah sebelumnya.
Enggar bilang sejak tahun 1990 hingga 2015 hanya 8 perjanjian dagang yang dapat diselesaikan. Sementara dalam 4 tahun perjanjian dagang yang diselesaIkan bisa mencapai 28 perjanjian.
Baca Juga: Mulai besok semua produk makanan dan minuman wajib kantongi label halal
"Tahun depan sebenarnya ada 13 jadi total 28 perjanjian dalam 4 tahun, dari pada 15 tahun 8 perjanjian," ungkap Enggar saat membuka Trade Expo Indonesia pekan lalu.
Salah satu yang akan selesai tahun 2020 mendatang adalah Perjanjian Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Secara substansi perjanjian tersebut akan selesai tahun 2019 dan ditandatangani tahun 2020.
RCEP dinilai memiliki akses pasar yang besar. Pasalnya terdapat 16 negara dalam RCEP di antaranya negara yang tergabung dalam ASEAN plus China, India, Korea, Jepang, Australia, dan New Zealand.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemdag), RCEP memiliki pangsa pasar 50% populasi dunia, 30% perdagangan global, dan 28% penanaman modal asing dunia.
Baca Juga: Revisi DNI kemungkinan dilakukan setelah kabinet baru terbentuk
Bahkan pasar RCEP melebihi Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership minus Amerika Serikat. RCEP dipastikan akan mendorong rantai nilai di antara 16 negara tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News