Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Omnibus Law UU Cipta Kerja telah disahkan DPR pada awal Oktober lalu. Salah satu UU yang direvisi dalam Omnibus Law ini adalah UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha.
Seperti diketahui, poin yang diubah di antaranya terkait pengenaan denda dan perubahan penanganan upaya keberatan atas putusan KPPU ke pengadilan niaga.
Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen menilai, pengaturan pengenaan denda tentang larangan monopoli dan persaingan usaha dalam UU cipta kerja, memberikan wewenang kepada KPPU untuk mengenakan denda nyaris dengan nominal tidak terbatas.
Hal ini kontraproduktif dengan tujuan pembuatan undang-undang omnibus law cipta kerja yaitu menarik masuk investor agar menanamkan modalnya ke Indonesia.
Baca Juga: Putusan PN Jakarta Selatan terkait Grab jadi masukan perlu adaptasi dengan digital
“KPPU dengan kewenangan mengenakan denda tidak terbatas sangat mengerikan dan merupakan ancaman nyata bagi investor Indonesia,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (1/11).
Lebih lanjut, Hendra sependapat dengan perubahan dalam omnibus law Cipta Kerja untuk memindahkan upaya keberatan terhadap putusan KPPU dari pengadilan negeri kepada pengadilan niaga.
Hal ini sesuai dengan semangat atau spirit pembentukan pengadilan niaga yaitu sebagai pengadilan khusus untuk menangani perkara-perkara terkait perdagangan.
Sebab, hukum perdagangan memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan hakim-hakim dengan kompetensi khusus.
Akan tetapi, Hendra menilai akan menjadi masalah jika pengadilan niaga hanya ada lima di Indonesia. Kemungkinan besar perkara keberatan putusan KPPU akan banyak yang beralih ke pengadilan niaga di pengadilan negeri Jakarta Pusat karena kantor pusat KPPU di DKI Jakarta.
Permasalahannya, sekalipun Hakim PN Jakarta Pusat memiliki kompetensi dan kapabilitas menangani perkara anti monopoli, namun apakah pengadilan memiliki kapasitas mengingat pada saat bersamaan harus menangani perkara PKPU, kepailitan, hak atas kekayaan intelektual, hubungan industrial dan yang lainnya.
“Jangan sampai pengadilan mengalami overload atau kelebihan perkara sehingga pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan jadi tidak berkualitas,” tutur Hendra.
Sebagai informasi, dalam salinan UU Cipta Kerja yang diterima Kontan.co.id menyebutkan, pelaku usaha dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Kemudian, KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU 5/1999.
Baca Juga: KPPU minta pemerintah perjelas pengecualian monopoli bagi BUMN
Tindakan administratif dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
g. pengenaan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya: KPPU sebut ada 4 tantangan supaya BUMN bisa kompetitif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News