Sumber: TribunNews.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai Presiden Joko Widodo tengah menjalankan politik santun untuk menyikapi penangguhan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan menjadi Kepala Polri.
Refly melihat ada beberapa sinyal yang diberikan Jokowi untuk tidak melantik Budi Gunawan. Pertama, Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pada 16 Januari 2015 terkait menunda pelantikan Budi Gunawan dan mengangkat Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas. Politik ini terkesan tersirat untuk menunda proses pelantikan.
"Jokowi menjalankan politik santun, tidak terus terang. Ditunda dan menunggu proses peradilan. Padahal, proses peradilan tidak sebentar, berbulan-bulan," kata Refly saat diskusi "Mencari Jalan ke Luar Silang Sengkarut Pemilihan Kapolri" di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (5/2).
Politik santun lainnya juga diperkuat oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang menyatakan alangkah lebih indahnya Budi Gunawan mundur. Pernyataan Pratikno secara tak langsung merupakan pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta.
"Jauh akan indah kalau BG mundur, itukan sinyal Jokowi, mundur. Masalahnya tidak mau mundur, inilah kekeliruan kita, yang melihat ini semata perspektif hak," jelas Refly.
Meski tidak ada undang-undang yang mengatur pejabat publik yang dikenakan sangkaan dugaan korupsi harus mundur. Namun, secara etika tidak pantas bagi tersangka korupsi memimpin sebuah lembaga atau institusi.
Bahkan, kata dia, siapapun yang menjadi tersangka, tidak pantas untuk dijadikan Kapolri. "Seharusnya Budi Gunawan tahu dirilah sehingga Jokowi bisa mengajukan nama baru ke dewan," tutup Refly. (Randa Rinaldi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News