Reporter: Martyasari Rizky | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Secara fundamental maupun eksternal, agak sulit bagi kita untuk berharap rupiah akan kembali stabil ke level yang di asumsikan oleh pemerintah di APBN sebelumnya.
Karena besaran rasio hutang luar negeri Indonesia dan cadangan devisa di bawah 100%, saat ini Indonesia hanya memiliki cadangan devisa sebesar 72%.
Dengan cadangan devisa yang hanya 72%, hal itu tidak sebanding dengan kewajiban pembayaran hutang luar negeri Indonesia. Karena faktor itu, Indonesia termasuk ke dalam negara yang rentan mengalami krisis ekonomi.
Memang kondisi perekonomian Indonesia dalam arti bahaya itu tidak selalu berpotensi krisis. Tetapi, bahwa ini akan menjadi warning untuk meningkatkan mitigasi Indonesia.
“Perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh nilai tukar. Hal itu yang harus diwaspadai,” ujar Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Selasa (11/9).
Selain itu Indonesia juga harus lebih berhati-hati dalam mengelola hutang, terutama hutang luar negeri. Proyek-proyek pembangunan infrasruktur yang nantinya tidak bisa meningkatkan ekspor atau penerimaan devisa, sebaiknya ditunda dahulu.
“Kita jangan mengambil hutang yang denominasinya menggunakan dollar. Karena konsekuensi dari hutang luar negeri, Bunga dan cicilannya kan harus dibayar dengan dollar,” ujarnya.
Maka dari hal itu, Indonesia harus mengkalkulasikan terlebih dahulu perhitungan sebelum mengambil hutang luar negeri, bahwa apakah hal tersebut dapat mendukung peningkatan ekspor dan atau menambah penerimaan devisa masuk ke Indonesia. Agar terjadi keseimbangan, antara hutang luar negeri dengan cadangan devisa yang dimiliki.
Asal tahu saja, dengan adanya beban hutang luar negeri hal itu tentunya akan memberikan efek terhadap APBN Indonesia. Artinya, beban bunga dan cicilan hutang tentu akan meningkatkan beban APBN Indonesia. Sehingga jika bunga dan cicilan mengalami kenaikan, maka Pemerintah harus mengambil langkah untuk mengurangi pengeluaran negara yang lain.
Di sisi lain, dengan adanya tekanan eksternal hal ini memiliki kemungkinan Federal Funds Rate (FFR) akan mengalami kenaikan hingga dua kali untuk kedepannya. Serta dampak adanya perang dagang juga berpotensi terjadinya pelemahan harga komoditas.
“Dampak perang dagang antara Amerika dan China sudah pasti berpeluang untuk melemahkan harga komoditas,” kata Enny.
Dalam artian, jika harga komoditas turun, ekspor Indonesia tidak akan berjalan optimal, dan juga akan mengalami penurunan. Hal ini tentu saja akan menjadi ancama untuk trade devisit atau neraca perdagangan Indonesia.
Dengan neraca perdagangan yang turun, maka akan terjadinya capital outflow atau pelemahan rupiah. Sehingga neraca pembayaran Indonesia juga akan berpotensi mengalami devisit. Artinya, jika transaksi luar negeri Indonesia mengalami devisit, berarti kita akan lebih banyak membutuhkan dollar, dari pada memiliki persediaan dollar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News