Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir September nanti. Hal ini dipicu oleh rencana kenaikan suku bunga Federal Reserve sebesar 25 basis points (bps) bulan ini.
Peneiti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, nilai tukar rupiah pada 10-14 September 2018 mendatang bergerak pada level Rp 14.840-Rp 14.990 per dollar Amerika Serikat (AS).
Menurut Bhima, sebelumnya bunga acuan The Fed yang naik berkebalikan dengan yield US Treasury 10 tahun yang turun menjadi 2,88% per 6 September 2018. Ia bilang, prediksi ini sesuai dengan teori Inverted Yield Curves, di mana yield surat utang AS jangka panjang menurun sedangkan yield jangka pendek naik.
"Artinya, ekspektasi investor dalam jangka pendek khawatir adanya market crash dan lebih memilih membeli surat utang yang bertenor jangka panjang. Inverted Yield Curves menjadi indikator pra-krisis global sejak tahun 1970-an," kata Bhima, Minggu (9/9).
Dari dalam negeri kata Bhima, berbanding terbalik dengan yield US Treasury bond. Yield SBN 10 tahun terus mengalami kenaikan menjadi 8,69%. "Yield yang naik di negara berkembang mencerminkan tingkat risiko berinvestasi semakin besar, apalagi Indonesia masuk ke dalam fragile five, 5 negara paling rentan terpapar krisis," tambahnya.
Konsekuensinya pelaku pasar masih melanjutkan untuk beralih ke aset yang lebih aman salah satunya the greenback (dollar). Ia bilang, indikator US Dollar Index berada pada level 95,3 atau naik 3,5% sejak awal tahun 2018. Kenaikan itu, menjadi indikasi tren super dollar akan berlanjut hingga akhir tahun.
Di sisi lain, ancaman perang dagang kembali memanas setelah Presiden AS Donald Trump kembali mengancam kenaikan tarif senilai US$ 267 miliar barang asal China. Efek berlanjutnya, perang dagang berpengaruh signifikan terhadap penurunan kinerja neraca perdagangan Indonesia. Sementara hingga Juli 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit hingga US$ 3 miliar.
Sentimen cadangan devisa (cadev) juga berpengaruh terhadap perilaku pasar. Cadev per Agustus 2018 anjlok ke US$ 117,9 miliar, terendah sejak Januari 2017. Penurunan cadev disebabkan oleh intervensi Bank Indonesia (BI) untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Gejolak rupiah yang mengalami eskalasi menguras cadev secara konsisten. "Cadev dibanding PDB Indonesia hanya 14% jauh di bawah negara peers, Filipina 26% dan Thailand 58%," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News