Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Peran Badan Urusan Logistik (Bulog) saat ini berbeda dengan peran Bulog zaman dulu. Bila dulu, Bulog benar-benar berfungsi sebagai penjaga stabilisasi harga pangan dan di bawah satu komando yaitu presiden.
Saat ini, Bulog berada hampir di bawah sembilan komando dari Kementeraian/Lembaga. Kalau dulu, Bulog tidak hanya menangani beras, tapi hampir semua kebutuhan pokok, tapi sekarang Bulog lebih fokus mengurusi beras, itu pun peranannya terbatas.
Menurut Pengamat Pertanian Khudori, kalau ingin menjadikan Bulog lembaga strategis mengurusi pangan, maka harusnya berada di bawah satu komando dan tidak didesain untuk mencari untung atau profit oriented.
Bulog benar-benar disiapkan untuk menghabiskan anggaran menyerap dan menjaga stabilisasi harga. Pendanaan Bulog juga tidak dari dana komersil seperti sekarang ini. "Tapi harus dicari pendanaan yang murah agar bisa meningkatkan penyerapan komoditas pangan di lapangan," Khudori kepada KONTAN, Rabu (10/6).
Ia bilang, Bulog seharusnya juga tidak dibebani dengan banyak komando yang membuat Direksi Bulog tidakdapat mengambil keputusan strategis seperti aksi korporasi karena harus meminta izin dari banyak lembaga.
Kemudian Bulog harusnya diberikan kebebasan membeli sesuai harga pasar agar dapat menyerap dalam jumlah besar. Memang saat ini Bulog diizinkan menyerap sesuai harga pasar, tapi kerugian harus ditanggung sendiri. Nah ini yang membuat direksi Bulog sukar bergerak bebas.
Salah satu kendala Bulog saat ini sehingga tidak dapat menyerap gabah dan beras dalam jumlah besar karena selalu kalah dengan swasta. Sebab harga beras di pasar saat ini sudah di atas Harga Pokok Penjualan (HPP) Rp 7.300 per kilogram (kg). Rata-rata harga beras sudah berada di harga Rp 8.500 - Rp 9.000. Dengan kondisi ini Bulog sulit meningkatkan penyerapan. Kalaupun dapat menyerap, Bulog pasti mendapatkan beras kualitas buruk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News