kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Hukum pajak yang ambigu jadi pemicu sengketa pajak PGN


Rabu, 13 Januari 2021 / 20:43 WIB
Pengamat: Hukum pajak yang ambigu jadi pemicu sengketa pajak PGN
ILUSTRASI. Sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai sebagai salah satu dampak ambiguitas hukum perpajakan di Tanah Air. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/06/04/2017


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

Sebetulnya, penjelasan yang lebih rinci ada di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252 tahun 2012. Pada pasal 1 ayat 1, gas bumi disebut merupakan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Nah, cakupan gas bumi yang tidak dikenai PPN adalah gas bumi yang dialirkan melalui pipa, liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG).

Di pasal 2 PMK 252/2012 disebutkan Liquified Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi masyarakat atau yang dikenal sebagai elpiji tidak termasuk dalam cakupan gas bumi yang tidak dikenai PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

Artinya, elpiji merupakan barang kena pajak dan dikenai PPN. Sementara gas bumi yang dialirkan melalui pipa, LNG dan CNG tidak kena PPN.

PGN lanjut Prianto, juga berpegang pada surat konfirmasi dari Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara (KPP BUMN) pada 19 Agustus 2009. 

Dalam surat tersebut, seperti termuat dalam laporan keuangan PGAS tahun 2017, KPP BUMN mengkonfirmasi kepada PGN bahwa gas bumi merupakan salah satu jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang masuk dalam kelompok yang tidak dikenakan PPN.

"Sementara teman-teman di Ditjen Pajak bilang yang tidak kena PPN itu, misalnya, ketika PGN beli dari PHE (Pertamina Hulu Energi). Tapi barang yang sudah ada di PGN dan di trader itu barang yang kena pajak," ujar Prianto.

Terkait permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak ke MA, lanjut Prianto, terdapat risiko yang muncul selama proses peradilan. Pasalnya, hakim memutus perkara berdasarkan alat bukti, pengetahuan hakim dan berdasar keyakinan hakim sesuai kebenaran materil. 

Nah, di pengadilan khusus seperti pengadilan pajak, hakim yang mengadili perkara memiliki pengetahuan soal perpajakan. "Sementara di level MA, bisa jadi hakimnya tidak punya pengetahuan yang cukup soal pajak. Tapi, saya tidak tahu persis kondisinya bagaimana, karena persidangannya juga berlangsung tertutup," pungkas Prianto.

Selanjutnya: Perusahaan Gas Negara (PGAS) Terancam Bayar Sengketa Pajak Rp 3,06 Triliun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×