Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang Januari-Februari 2020 penerimaan pajak masih loyo, hanya mengumpulkan Rp 152,9 triliun atau turun 4,9% year on year (yoy). Pelemahan harga minyak dan kurs rupiah digadang menjadi salah satu penyebab penerimaan utama negara tersebut mengalami kontraksi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, harga minyak pada bulan lalu memang di bawah asumsi dasar makro ekonomi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), tetapi tidak drastis.
Proyeksi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harga minyak mentah Indonesia senilai US$ 63 per barel. Sementara realitanya, Indonesian crude price (ICP) di level US$ 56,61 per barel pada bulan lalu.
Baca Juga: Sri Mulyani: Asumsi makroekonomi APBN 2020 akan alami perubahan signifikan
Di sisi lain, harga minyak jenis brent dalam pasar spot pada akhir Februari 2020 ditutup seharga US$ 50,52 per barel, dengan koreksi bulanan mencapai 13,13%. Namun, harga minyak brent sampai Rabu (18/3) terkoreksi makin dalam mencapai 55,9% year to date (ytd) atau setara US$ 29,09 per barel.
Menkeu bilang koreksi harga minyak sangat dipengaruhi oleh situasi global. Terutama negorisasi Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Rusia yang akhirnya tidak sepakat untuk menurunkan produksi minyak mereka. Dus, OPEC malah menggenjot produksi.
Dari sisi penerimaan, pelemahan harga minyak membuat kinerja pajak perhasilan (PPh) migas tersendat.
Untuk lifting minyak dalam negeri, pemerintah awalnya memprediksi mencapai 755.000 barel per hari (bph), tetapi realisasinya hanya 679.400 bph. “Kinerja PPh migas juga turun karena lifting minyak masih di bawah target, biarpun kurs rupiah bulan lalu masih kuat,” kata Menkeu, Rabu (18/3).
Adapun realisasi PPh migas sebesar Rp 6,6 triliun sampai dengan akhir Februari 2020, lebih rendah daripada dua bulan awal tahun lalu senilai Rp 10,5 triliun.
Baca Juga: Hingga Februari, defisit APBN 2020 mencapai Rp 62,8 triliun