Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah meyakini penerimaan pajak tahun ini bisa tumbuh dari tahun lalu. Meski sejumlah tantangan bisa kembali mengancam penerimaan utama negara tersebut, pemerintah tetap maju tak gentar.
Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak pada 2020 sebesar Rp 1.642,57 triliun. Angka tersebut naik 4,12% dari target tahun 2019 senilai Rp 1.577,6 triliun. Padahal realisasi penerimaan tahun lalu mengindikasikan shortfall melebar dari target pemerintah.
Alasan pemerintah, pada tahun lalu penerimaan pajak seret lantaran pelemahan ekonomi global yang berdampak kepada kondisi domestik, sehingga menyebabkan harga komoditas mengalami pelemahan. Belum lagi masalah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China hingga Brexit.
Baca Juga: Masa holding period berakhir, dana repatriasi tax amnesty masih bertahan di Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai kemungkinan besar harga komoditas di tahun ini bisa membaik dari tahun sebelumnya. Ini akan menjadi jaminan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak di tahun 2020.
Meski demikian, Menkeu tidak menampik gejolak global bisa kembali datang.
Maklum saja, fluktuasi harga komoditas yang cenderung merosot akan membuat penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas (Migas) serta pertambangan ikut negatif.
Kedua sumber itu akan menjadi arah penentu kinerja jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dari sisi extra effort, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebetulnya sudah memiliki modal yang dihimpun dari tahun lalu, bahkan sejak 2018. Sebagai contoh, pertukaran data informasi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEoI), data informasi rekening lebih dari Rp 1 miliar, serta data dari pihak ketiga.
Direktur Potensi Kepatuhan Penerimaan Pajak DJP Kemenkeu Yon Arsal mengatakan pada 2019, data-data itu masih dalam tahap pengumpulan dan proses validasi, sehingga hanya sebagian yang bisa digunakan. Makanya, di tahun 2020 kantor pajak akan melancarkan senjata tersebut sebagai basis perluasan wajib pajak (WP).
Di sisi lain, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijkana Fiskal (BKF) Kemenkeu Rofyanto Kurniawan menyebutkan salah satu strategi pemerintah di tahun ini adalah menyasar pada basis pajak baru di ekonomi digital. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Ekonomi atau Omnibus Law Perpajakan.
“Untuk pengenaan PPN barang/jasa yang masuk ke suatu negara melalui e-commerce, termasuk Indonesia, sudah menjadi kesepahaman bersama. Jadi boleh dikenakan PPN, prinsipnya destination principle di luar daerah kepabean sebagaimana diusulkan dalam Omnibus Law Perpajakan.” kata Rofyanto kepada Kontan.co.id, Sabtu (4/1).
Rofyanto bilang pengenaan PPN berdasarkan nilai transaksi misalnya 10% dari nilai transaksi, relatif lebih mudah dalam penerapan dan penghitungannya. Namun, pengenaan PPh atas perusahaan digital, pemerintah masih menunggu konsensus global.
Baca Juga: Tingkat kepatuhan pajak naik, cuma masih di bawah target
Sedangkan upaya konsensus global yang digagas The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah pengenaan pajak penghasilan berdasarkan profit distribution dan Significant Economic Presence (SEP).
“Ini kompleks perhitungannya, formulanya harus disepakati bersama perlu mengacu prinsip-prinsip pemajakan yang fairness, tidak diskriminasi, dan transparan,” papar Rofyanto.
Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai ekonomi digital memang jadi sasaran empuk. Namun, bila menunggu Omnibus Law Perpajakan akan makan waktu. Sebab hitung-hitungan pemerintah saja implementasi RUU tersebut di akhir 2020 bahkan awal 2021.
Lantas, Prastowo menilai tantangan pemerintah saat ini harus menyusun policy yang tepat tanpa mengganggu iklim bisnis ekonomi digital khususnya e-commerce yang tengah berkembang. Contohnya mewajibkan pelapak untuk registrasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ini sembari menunggu skema besar pemajakan ekonomi digital dari OECD.
“Pemerintah secepatnya mengeluarkan aturan soal digital ekonomi. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Pemajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sudah dicabut, Janji pemerintah di-capture aturannya, tapi sampai saat ini belum ada jangan hanya wacana,” kata Prastowo kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).
Prastowo menambahkan dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi, otoritas pajak sekiranya perlu merangkul wajib pajak potensial. Program penambahan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama harus segera direalisasikan, agar penambahan basis pajak tidak sebatas pertumbuhan kuantitas, tapi juga kualitas wajib pajak.
Untuk mengontrol penerimaan pajak di tahun ini, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Dito Ganinduto mengatakan legislatif akan menggunakan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan dalam mengawal kinerja penerimaan perpajakan secara berkelanjutan. Bahkan ke depan, agar lebih fokus, Komisi XI akan membuat rapat kerja khusus dengan DJP.
Baca Juga: Tak hanya omnibus law, kebijakan ekonomi pemerintah ini juga dinanti tahun ini
“Terkait dengan mekanisme akan ada rapat kerja dengan Menkeu, Rapat Dengar Pendapat dengan tiap-tiap pejabat Eselon I Kemenkeu ataupun dalam bentuk panitia kerja penerimaan negara,” kata Dito kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).
Dito menyampaikan untuk melakukan revisi penerimaan pajak pada APBN 2020, terlebih dahulu perlu melihat kondisi dan kinerja perekonomian secara makro baik dengan memperhatikan kondisi fiskal, moneter, dan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi kinerja perekonomian nasional.
Oleh karena itu, bila pemerintah menilai kondisi perekonomian domestik belum mendukung penerimaan pajak di tahun ini, Komisi XI DPR akan menunggu bila ada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News