Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi BI dalam menerbitkan instrumen moneter berbasis syariah.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, alasan penerbitan instrumen sukuk masih terbatas karena penerbitan sukuk di Indonesia belum bervariatif. Dari pemerintah hanya ada surat berharga negara syariah (SBSN), sementara BI hanya menerbitkan sukuk valuta asing Bank Indonesia (SUVBI).
Nah karena keterbatasan penerbitan jenis sukuk tersebut, maka BI kesulitan memilih underlying yang ada. Saat ini underlying SUVBI adalah sukuk global milik BI.
Perry menyebut, saat ini BI hanya menciptakan lebih banyak sukuk untuk retailer, dengan memperkenalkan digitalisasi layanan keuangan. Sementara itu, ketersediaan penerbitan sukuk masih belum cukup untuk memenuhi permintaan pasar.
Baca Juga: BI: Penerbitan Obligasi Syariah Perlu Diperbanyak, Dukung Keuangan Syariah
“Kami tidak memiliki underlying. Bagaimana kita bisa menerbitkan instrumen dan moneter kalau tidak ada underlying-nya?,” tutur Perry dalam Perry dalam agenda BI, IILM, IFSB Joint High Level Seminar and Investor Forum, Kamis (31/10).
Adapun penerbitan SUVBI, bila dibandingkan penerbitan obligasi konvensional, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) nilainya memang lebih rendah.
Perry mencatat, BI telah menerbitkan SRBI senilai Rp 934,87 triliun per 14 Oktober 2024.
Sementara itu, pada periode yang sama penerbitan, SUVBI hanya sebesar US$ 424 juta atau setara dengan Rp 6,66 triliun (kurs (Rp 15.700 per dolar AS).
Ia menyebut, rendahnya rendahnya realisasi SUVBI tersebut disebabkan karena keterbatasan underlying yang ada. Pun dengan masih minimnya alternatif instrumen yang berbasis syariah di Indonesia.
Di samping itu, Perry juga menyoroti, di Indonesia belum ada sukuk korporasi pemerintah yang sesuai dengan kriteria BI. Belum adanya sukuk korporasi tersebut yang menyebabkan sulitnya memperkenalkan sukuk di pasar uang.
Baca Juga: Gubernur BI: Indonesia Jadi Penerbit Sukuk Terbesar, Total Nilai Capai US$ 5 Miliar
Sehingga Perry mendorong agar BUMN dan pemerintah bisa menciptakan produk dan inovasi sukuk baru.
Nah dengan banyaknya inovasi penerbitan sukuk, maka bisa menciptakan likuiditas jangka pendek, sebagian kecil dari instrumen melalui digitalisasi.
“Tapi ketika kita bicara sukuk untuk pasar primer, tolong bicara juga sukuk sebagai underlying untuk pasar sekunder, underlying untuk instrumen likuiditas,” ungkapnya.
Meski begitu, di tengah keterbatasan underlying sukuk, Perry menyampaikan pentingnya digitalisasi sebagai solusi. Dengan adanya digitalisasi, maka akan menciptakan lebih banyak inovasi produk dan memungkinkan akses yang lebih luas ke instrumen keuangan, termasuk instrumen berbasis syariah.
.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News