Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
Di sisi lain, Faisal mengatakan dampak SBN terhadap tren kenaikan yield US Treasury akan terbatas karena tiga hal. Pertama, proporsi kepemilikan asing cenderung lebih rendah. Kedua, cadangan devisa per Februari 2021 tertinggi sepanjang masa. Ketiga, surplus neraca perdagangan masih akan berlanjut.
Kondisi obligasi dalam negeri pun dinilai asih prospektif. Sebab, dalam jangka menengah jika Indonesia berhasil pulih lebih cepat, inflow akan kembali masuk karena return yang dijanjikan akan naik. Dus, dengan sendirinya akan menurunkan yield SBN.
Kendati demikian, masalah SBN adalah imbal hasil dari sisi nilai tukar. Jika rupiah terus melemah jelas akan menggerus return. Namun kabar baiknya cadangan devisa terbilang tinggi dan surplus neraca pembayaran masih akan terus berlangsung.
“Ini bisa jadi katalis positif bagi Bank Indonesia (BI) untuk bisa menstabilkan nilai tukar. Jadi diharapkan bisa menahan outflow. Selain itu the Fed masih menegaskan akan tetap dovish sampai dengan 2023,” ujar dia.
Sebagai info, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan hingga 17 Maret 2021 realisasi penerbitan surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 365,38 triliun. Angka tersebut naik 84% dari pencapaian di periode sama tahun lalu.
Pencapaian tersebut tertuang dalam laporan DJPPR yang berjudul Government Securities Management. Sehingga, sisa penerbitan SBN di tahun ini tinggal Rp 841,92 triliun dari outlook akhir tahun yang ditetapkan oleh pemerintah sejumlah Rp 1.207,3 triliun.
Secara rinci, dari total penerbitan SBN di periode akhir kuartal I-2021 itu terbagi dalam dua jenis utang antara lain surat utang negara (SUN) tercatat sebesar Rp 293,98 dan surat berharga syariah negara (SBSN) senilai Rp 71,5 triliun.
Selanjutnya: Penjualan sukuk ritel SR014 capai Rp 16,75 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News