Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden terpilih Prabowo Subianto akan mewarisi perekonomian yang sulit dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, pada masa pemerintahan Prabowo nanti akan dihadapkan dengan empat potensi krisis yang bisa terjadi.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, empat potensi krisis tersebut, pertama, krisis fiskal. Ini tercermin dari debt service ratio 2025 mencapai 43,4%, hampir 50% penerimaan negara dibayarkan untuk bunga utang dan cicilan pokok utang.
Di samping itu rasio pajak diperkirakan akan stagnan karena masalah struktural, dan pemerintahan ke depan akan semakin beergantung dengan surat berharga negara (SBN) berbunga tinggi, dengan bunga pasar saat ini mencapai 7,2%
“Kita mau tidak mau sudah terjebak dalam utang,” tutur Wijayanto dalam diskusi publik, Kamis (11/7).
Baca Juga: Faisal Basri: Siap-Siap Stabilitas Makro Goyang Jika Batas Defisit APBN Dihapus
Kedua, potensi terjadinya krisis industri. Tercermin dari peran industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin turun, hanya 18% dari PDB, atau turun dari 22% pada tahun 2010-an.
Wijayanto menceritakan, ia kerap kali bertemu banyak pengusaha yang mengeluhkan soal ini namun tidak banyak diperhatikan pemerintah. Sehingga produk mereka kalah saing dengan produk asing.
Ia menyayangkan karena akhirnya pengusaha dalam negeri justru memilih menjadi agen dari produk luar seperti China, dibandingkan mengembangkan produksi dalam negeri.
“Ini nama-nama besar yang cerita seperti ini. Makanya kalau lihat pabrik tekstil, garmen tutup, ini akan terus menerus terjadi, karena mindset tersebut terus terjadi di kalangan pengusaha besar,” ungkapnya.
Ketiga, krisis lapangan kerja, tercermin dari 10 juta Gen Z menganggur sehingga pemerintah gagal memanfaatkan bonus demografi.
Wijayanto mencatat, sebelum Presiden Jokowi menjabat, pekerja yang bekerja di sektor informal hanya 40%. Sedangkan saat ini meningkat menjadi 60% hingga 70% an.
“Pekerja informal ini yang sebenarnya nganggur namun mencoba beraktivitas untuk mencari penghidupan,” jelasnya.
Baca Juga: Pelebaran Defisit APBN 2024 Jadi Alarm Untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran
Wijayanto juga melihat rata-rata pengusaha belum mau melakukan ekspansi, dan justru banyak melakukan efisiensi dan pemotongan jumlah karyawan.
Keempat, krisis rupiah. Ia mencatat, dalam setahun terakhir rupiah melemah terhadap 81,28% mata uang dunia (data year on year 8 Juli 2024).
“Kalau karena krisis global, rupiah hanya melemah sebanyak 50%, tapi ini kita melemah terhadap 80% lebih. Artinya problemnya ada di kita, yakni struktural dan fundamental,” terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News