Reporter: Martina Prianti,Uji Agung Santosa | Editor: Test Test
JAKARTA. Rokok memang selalu memunculkan kontroversi. Kali ini, polemik tentang rokok muncul dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD).
Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menginginkan pemerintah daerah meningkatkan pendapatan asli daerah dengan memungut pajak atas rokok. Selama ini, pemerintah pusat mengenakan cukai rokok sebesar 37% dan membagikan sebagian hasilnya ke daerah.
Masalahnya, ungkap Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Azis, aliran hasil cukai ke daerah itu cuma 2%. Itu pun ke daerah produsen rokok. Sementara daerah-daerah perokok hanya kebagian asap. "Makanya fraksi-fraksi mengusulkan pengenaan pajak rokok sebesar 25%," kata Harry, Rabu (3/9).
Namun, pemerintah masih menolak usulan DPR. Direktur PDRD Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Budi Sitepu mengatakan, realisasi usulan ini secara prinsip susah terjadi.
Budi beralasan, rokok tergolong barang dengan mobilitas tinggi. Jadi, pemerintah akan kesulitan memungut pajak atas rokok. Dia melihat lebih baik pemerintah pusat saja yang menangani. "Bisa juga pajak rokok ini menyebabkan pajak berganda," ingat Budi.
Namun Harry menampik munculnya pajak berganda itu. Pasalnya, pemerintah daerah akan mengambil pajak ini dari pengenaan cukai rokok dari pemerintah pusat. "Nantinya, semua daerah bisa merasakan," kata Harry.
Caranya begini, ke depannya, penerapan pajak rokok ini memakai model on top dari cukai. Misalnya harga sebungkus rokok Rp 10.000, ongkos produksinya Rp 6.000, dan pengenaan cukai itu masuk dalam keuntungan Rp 4.000. Jadi, besar pajak rokok itu 25% dari Rp 4.000 adalah Rp 1.000. "Konsekuensinya harga rokok akan naik 25%," kata Harry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News