Reporter: Abdul Basith, Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski kinerja perusahaan negara kian bertaji, masih ada perusahaan negara yang sakit. Makanya, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) (Persero) minta agar pemerintah menjual badan usaha milik negara (BUMN) itu. Penjualan menjadi langkah yang lebih baik lantaran biaya penyehatan perusahaan sangat besar dan belum tentu berhasil.
Empat perusahaan tersebut adalah PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kertas Leces, PT Kertas Kraft Aceh (KKA), dan PT Industri Gelas (Iglas). Menurut PPA, mereka antara hidup dan mati dengan berbagai persoalan yang membelit.
Merpati misalnya, terjerat utang Rp 10,72 triliun, adapun nilai asetnya di 2017 hanya Rp 1,21 triliun. Nilai aset berpotensi terus turun karena berupa suku cadang hingga mesin-mesin pesawat.
Direktur PT PPA Henry Sihotang mengatakan, pencarian investor Merpati hingga saat inu masih berjalan. Namun bila tidak mendapatkan investor, PPA menyarankan agar Merpati dinyatakan pailit saja. "Kami sudah merekomendasikan agar pemerintah tidak keluar uang satu rupiah pun ke Merpati," ujar Henry.
Beban negara
Lantas bagaimana dengan tiga perusahaan lainnya? Hasil audit 2017, aset Kertas Kraft Rp 720 miliar. Namun, Kertas Kraft memiliki utang Rp 1,34 triliun. Adapun, aset Kertas Leces sebesar Rp 781 miliar dengan utang Rp 1,7 triliun. Kemudian aset Iglas hanya Rp 119,86 miliar dengan utang Rp 1,09 triliun
Untuk menyelamatkan Kertas Kraft Aceh semisal, kata Henry dibutuhkan investasi besar untuk melakukan transformasi bisnis. Sementara Iglas yang bergerak pada industri kaca dan gelas, dinilai secara bisnis tidak dapat dipertahankan.
Senasib, PPA menyarabkan tiga perusahaan lain itu dijualPenyehatan perusahaan tersebut bakal membebani keuangan negara. "PPA melihat sudah tidak perlu pemerintah masuk lagi, sebab bisnisnya sudah harus bertransformasi," katanya. Transformasi lebih baik dilakukan investor agar tidak menyusahkan negara
Atas saran itu, Kementerian BUMN mengaku telah mengajukan persetujuan privatisasi Merpati. Permintaan itu telah disetujui oleh Komite Privatisasi BUMN. Selanjutnya Komite akan mengusulkan privatisasi Merpati ke DPR. "Pemerintah siap bila saham negara di Merpati sampai 0%," jelas Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K Ro usai rapat dengan Komisi VI DPR, Senin (16/7).
Aloy menegaskan, pelepasan Merpati menjadi pilihan tepat dalam menyelamatkan keuangan negara. "Ada beberapa pilihan, bahasa terangnya tutup lebih murah daripada survive," terang Aloy. Namun, Kementerian BUMN mengklaim masih ada investor yang berminat membeli Merpati.
Menurut Aloy, pemerintah iklas jika saham di Merpati terdilusi karena biaya menyehatkan perusahaan penerbangan itu bakal sangat besar. "Sekarang ada investor mau masuk, kita akan coba. Tapi kalau kita terdelusi, tidak apa-apa," terang Aloy.
Adapun tiga perusahaan pelat merah lain belum mendapatkan persetujuan Komite Privatisasi. Kementerian BUMN akan membuay usulan baru untuk kejelasan tiga perusahaan itu.
Menurut Aloy, pemerintah siap melepas perusahaan tersebut bila diharuskan. Namun, hal itu perlu melihat prosedur terlebih dahulu, dengan melihat keuntungan serta peran strategis industri tersebut bagi negara.
PKPU Merpati diperpanjang
Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) diperpanjang selama 45 hari. Dengan perpanjangan waktu ini, Merpati berharap bisa merampungkan proposal perdamaian.
Sebenarnya, perpanjangan itu lebih lama dari pengajuan Merpati yang hanya 30 hari. Namun dengan pertimbangan pengurus PKPU dan hakim pengawas, seluruh kreditur se setuju memberikan perpanjangan PKPU tetap selama 45 hari. "Untuk memfinalisasi tawaran proposal perdamaian yang masih perlu didiskusikan dengan calon mitra strategis," kata salah satu pengurus PKPU Merpati Alfin Sulaiman kepada KONTAN Senin, (16/7).
Dalam proses PKPU, maskapai penerbangan pelat merah ini berusaha merestrukturisasi utang Rp 10,03 triliun. Rinciannya terdiri dari kreditur preferen Rp 1,09 triliun, kreditur separatis senilai Rp 3,33 triliun, dan kreditur konkuren senilai Rp 5,61 triliun. Pemilik tagihan terbesar dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 2,6 triliun, PT Pertamina (Persero) senilai Rp 2,8 triliun, dan PT PANN (Persero) senilai Rp 1,3 triliun.
Adapula tagihan dari beberapa BUMN lainnya semisal PT Telkom (Persero), PT Garuda Indonesia (Persero), dan PT Bank Mandiri (Persero), PT PPA (Persero).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News