Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sentimen positif menyelimuti pasar obligasi domestik pasca naiknya peringkat kredit jangka panjang Indonesia oleh S&P Global Ratings dari BBB- menjadi BBB, Jumat (31/5) lalu.
Ini juga tampak dari mulai turunnya yield Surat Utang Negara (SUN) acuan ber tenor 10 tahun. Mengutip Bloomberg, yield hari ini, Rabu (12/6), berada pada level 7,72%. Yield mengalami penurunan jika dibandingkan dengan posisinya pada 29 Mei lalu yang masih di level 8,01%.
Memang, yield obligasi pemerintah Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara lain. India, misalnya, yang disematkan peringkat satu tingkat di bawah Indonesia yaitu BBB- memiliki level yield obligasi tenor 10 tahun sebesar 7%.
Negara seperti Thailand dan Filipina memiliki yield jauh lebih kecil lagi. Kedua negara sekawasan ini disematkan peringkat BBB+ oleh S&P, satu tingkat di atas peringkat Indonesia. Yield obligasi pemerintah Thailand bertenor 10 tahun sebesar 2,2%, sedangkan yield obligasi pemerintah Filipina sebesar 5,2%.
“Kita memang butuh menurunkan yield SUN karena sudah jauh lebih tinggi dibandingkan negara emerging markets lainnya,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal kepada Kontan, Selasa (11/6).
Tren penurunan yield SUN saat ini, menurut Faisal, tak hanya terjadi lantaran kenaikan peringkat utang saja. Sebab, kondisi global tetap menjadi faktor utama pergerakan yield.
Salah satu pendorong yield turun saat ini, kata dia, ialah sikap dovish sejumlah negara yaitu melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga acuan di tengah tekanan ekonomi global yang semakin nyata.
“Tapi yield SUN juga tidak bisa turun terlalu tajam karena kita masih memiliki masalah defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Yield yang menarik diperlukan untuk masuknya investasi portofolio yang akan menambal potensi defisit neraca dagang yang membesar tahun ini,” lanjut Faisal.
Perkiraan Faisal, yield SUN akan bergerak dalam kisaran 6%-7% di tahun ini. Namun ia berharap, penurunan yield juga diimbangi dengan perbaikan fundamental ekonomi dan iklim investasi di dalam negeri agar dapat juga menarik investasi langsung.
Di tengah melesunya perdagangan internasional akibat perlambatan ekonomi global, pemerintah perlu serius menggenjot investasi, terutama penanaman investasi langsung di sektor riil. Untuk itu, Indonesia perlu meningkatkan daya saing agar arus investasi langsung masuk lebih deras, tak hanya dari investasi portofolio.
Faisal mencontohkan, Vietnam sempat memiliki yield SUN double-digit dan lebih tinggi dari Indonesia. Namun, Vietnam berhasil menurunkan tingkat yield secara konsisten seiring meningkatnya daya saing investasi sektor riil di sisi lain.
“Jadi, imbal hasil portofolio turun tapi daya saing investasi jauh lebih baik. Dibutuhkan kebijakan sektor riil yang juga mendukung,” kata Faisal.
Senada, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, pemerintah perlu terus menggulirkan reformasi ekonomi struktural untuk mendorong efisiensi birokrasi dan bisnis.
“Khususnya mengenai perizinan yang merupakan momok terbesar berusaha di Indonesia, hubungan industrial yang semakin baik, dan proses mendapatkan insentif pajak lebih mudah dari sebelumnya,” kata Shinta kepada Kontan, Selasa (11/6).
Perbaikan kualitas sumber daya manusia dan tenaga kerja, menurut Shinta, juga krusial untuk mendorong daya saing. Sebab, Indonesia kalah dibanding Vietnam atau Malaysia dalam hal tenaga kerja terampil sehingga kesulitan menarik investasi yang memiliki nilai tambah tinggi seperti manufaktur.
“Sudah saatnya kita mulai membangun sisi SDM bila ingin terus bersaing dan berkompetisi di tingkat global,” ujar Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News