Reporter: Uji Agung Santosa |
JAKARTA. Pemerintah akan mengubah mekanisme pengenaan bea keluar (pajak ekspor) untuk crude palm oil (CPO). Selain menaikkan bea keluar, pemerintah kemungkinan akan menurunkan treshold harga CPO saat ini yang sebesar US$ 700/ton.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi mengatakan saat ini harga CPO telah menunjukkan trend kenaikan yang cukup tinggi sehingga harga internasional telah menyentuh US$ 650/ton.
Selama ini pemerintah mematok harga US$ 700 per MT untuk bisa mengenakan bea keluar sebesar 1,5% dan berlaku progresif. “Harga patokan waktu itu kan dengan kurs rupiah Rp 9.500 per US$, sekarang harganya US$ 650/ton tapi kurs Rp 11.500-12.000/US$,” kata Bayu di Jakarta, kemarin.
Perubahan mekanisme pengenaan bea keluar itu, selain disebabkan karena trend kenaikan harga dan pelemahan nilai rupiah, juga disebabkan oleh kebijakan proteksionisme oleh beberapa negara seperti India terhadap produk-produk turunan CPO karena krisis global saat ini.
Kebijakan dagang yang dikenakan India, seperti dengan membebaskan bea masuk untuk CPO, namun mengenakan bea masuk tinggi untuk produk turunannya. Dengan kebijakan ini, maka Pemerintah Indonesia merasa dirugikan karena banyak produsen yang hanya akan menjual bahan baku CPO saja.
“Kita seolah-seolah hanya bisa menjual bahan baku saja dan ini merugikan industri dalam negeri. Kita pertimbangkan, CPO akan dikenakan bea keluar untuk meningkatkan suplai bahan baku bagi industri dalam negeri dengan harga yang lebih bersaing,” kata Bayu.
Pemerintah Indonesia bisa dengan leluasa melakukan kebijakan tersebut karena besarnya surplus CPO yang dimiliki. Tahun ini produksi CPO nasional hampir 20 juta ton, dari jumlah itu kebutuhan untuk minyak goreng sebesar 3,5 juta ton sampai 3,7 juta ton, selain itu untuk kebutuhan industri dalam negeri lain sebesar 1 juta ton.
Surplus CPO yang bisa diekspor dengan jumlah produksi sebesar itu mendekati 15 juta ton. “Bukan masalah produksi namun masalah harga dengan situasi kenaikan yang tinggi,” katanya.
Kenaikan harga CPO di pasar internasional ini membuat harga minyak goreng dalam negeri juga terpengaruh alias kembali naik. Bayu mengatakan, harga minyak goreng curah saat ini dikisaran Rp 7.000-8.000 di pabrik. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk menurunkan harga migor ini, apalagi setelah DPR menolak memberikan subsidi minyak.
Selain dengan menaikkan bea keluar CPO, pemerintah kemungkinan juga akan menurunkan treshold dari US$ 700 menjadi US$ 600 atau US$ 650. Dengan demikian otomatis bea keluar akan berlaku saat ini dimana harga CPO sudah bertengger dikisaran US$ 650/ton.
“Nanti dibawah US$ 700 mungkin akan tetap dikenakan bea keluar, seluruhnya walaupun jumlahnya tidak besar,” katanya. Pengenaan bea keluar itu dimaksudkan agar mampu mempengaruhi harga minyak dalam negeri dan harga CPO dunia.
Pemerintah sendiri sebenarnya senang dengan harga CPO internasional yang tinggi karena nilai ekspor juga akan naik, namun prioritas pemerintah saat ini adalah melindungi industri dan konsumen dalam negeri. Kemungkinan bea keluar yang dikenakan pada CPO adalah sebesar 1-2%.
Saat ini kebijakan mengenai pengenaan bea keluar itu telah dibahas di tim tarif. Pengenaan tarif ini selain akan mengendalikan ekspor dikhawatirkan juga bakal menurunkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Kenaikan bea keluar biasanya dibebankan kepada petani, sehingga harga akan menurun.
Saat ini harga TBS di petani Rp1.400/ kg dan ini sangat baik, dengan pengenaan bea keluar sebesar 1%-2% maka kemungkinan hanya akan menurunkan harga TBS sebesar Rp 50/kg sehingga relative kecil. “Saya kira masih menguntungkan petani dan volume tidak akan terpengaruh. Kita harapkan juga harga di industri untuk migor curah bisa lebih murah,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News