kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah Membahas Tindak Lanjut Larangan Ekspor Turunan CPO dan Minyak Goreng


Minggu, 24 April 2022 / 17:46 WIB
Pemerintah Membahas Tindak Lanjut Larangan Ekspor Turunan CPO dan Minyak Goreng
ILUSTRASI. Seorang warga membeli minyak goreng curah saat operasi pasar di Pasar Merdeka, Kota Bogor, Jawa Barat.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng jadi mulai 28 April 2022. Kebijakan tersebut berlaku sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono mengatakan, saat ini pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait tengah membahas tindak lanjut arahan Presiden Jokowi tersebut. Dia menyebut, pembahasan sudah mulai dilakukan sejak Jumat (22/4) sampai Minggu (24/4) sore.

“Ini masih dibahas, ini barusan juga selesai di tingkat menteri,” kata Veri kepada Kontan.co.id, Minggu (24/4).

Baca Juga: Pemerintah Akan Melarang Ekspor CPO, Berikut Respons GIMNI dan Sinar Mas (SMAR)

Veri mengatakan, rencananya hasil pembahasan antar kementerian/lembaga akan segera dapat diumumkan. Dia berharap, hasil pembahasan tersebut sudah dapat diumumkan pada 28 April mendatang.

“Tunggu di tanggal 28 (April), yang pasti ada larangan untuk beberapa turunan dari CPO,” ucap Veri.

Anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi mengatakan, pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng khususnya Refine, Bleached, Deodorized (RBD) Olein dan minyak goreng memiliki berbagai dampak positif. Keberanian Presiden Jokowi untuk menahan ekspor minyak goreng disaat harga internasional sedang tinggi perlu dipresiasi. Sebab, kepentingan terjaga nya stabilitas harga di dalam negeri adalah prioritas utama.

“Pertimbangan pemerintah kami kira cukup matang dan tidak tergesa-gesa karena risiko inflasi akibat pangan cukup tinggi, dan bisa berdampak pada naiknya jumlah penduduk miskin,” kata Baidowi, Minggu (24/4).

Baca Juga: Pasca Larangan Ekspor, Pemerintah Diminta Kembangkan Refinery Minyak Goreng

Baidowi menerangkan fakta bahwa naiknya permintaan minyak goreng baik kemasan maupun curah saat Ramadhan tidak diimbangi dengan kenaikan sisi pasokan bahan baku minyak goreng, sehingga memerlukan langkah yang luar biasa.

Dia menilai, tanpa adanya langkah konkret dari pemerintah mendorong pasokan bahan baku minyak goreng berpotensi akan mengakibatkan terjadi antrian panjang masyarakat dan pelaku usaha kecil berebut minyak goreng curah. Bahkan untuk membeli minyak curah perlu menunjukkan KTP kepada petugas agar tidak terjadi pembelian ganda.

“Sementara harga minyak goreng kemasan yang dilepas ke mekanisme pasar terlalu jauh disparitas harga nya. Perlu dipahami selama masa Lebaran kenaikan permintaan minyak goreng sebesar 47% lebih tinggi dibanding waktu normal (data Badan Ketahanan Pangan),” ucap Baidowi.

Baca Juga: Pasca Larangan Ekspor, Pemerintah Diminta Awasi Distribusi Bahan Baku & Minyak Goreng

Selain itu, lanjut Baidowi, perlu segera diantisipasi lonjakan kebutuhan minyak goreng bagi industri makanan minuman, serta pelaku usaha kuliner seperti warung makan pasca lebaran. Hal ini sejalan dengan pelonggaran aktivitas masyarakat diluar rumah yang membuat permintaan makanan akan terus meningkat.

“Meski ada devisa ekspor yang hilang, mengantisipasi kelangkaan minyak goreng dan menjaga stabilitas harga jauh lebih mendesak untuk jangka pendek,” kata Baidowi.

Baidowi menilai pelarangan ekspor hanya berlaku pada RBD olein atau bahan baku minyak goreng yang dilarang ekspor, sementara produk turunan CPO lain tidak dilarang. Sebab, selama ini, RBD olein menjadi bahan baku minyak goreng curah, minyak goreng kemasan sederhana, dan kemasan premium. Pengusaha masih bisa leluasa mengekspor produk CPO selain RBD olein.

Baca Juga: Harga Beberapa Komoditas Pangan Masih Tinggi, Ikappi: Rawan Kelangkaan

Sebagai tambahan dari kebijakan pelarangan ekspor, pemerintah juga diminta untuk melakukan pengawasan ketat dari produsen sampai distributor akhir.

“Idealnya ketika pasokan berlimpah, harga minyak goreng di retail ikut menurun. Kami mendukung langkah satgas gabungan untuk pengawasan minyak goreng menindak tegas seluruh pemain yang mencoba menahan stok atau mengambil marjin terlalu tinggi,” ujar Baidowi.

Sementara itu, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengapresiasi langkah Presiden Jokowi untuk menghentikan ekspor yang sifatnya sementara dengan batasannya. Hal ini agar ketersediaan minyak goreng yang merata dalam negeri dengan harga yang terjangkau.

Baca Juga: Inflasi Bulan April Diprediksi Naik, Harga Minyak Goreng dan Bensin Jadi Penyulutnya

Darto mengatakan, solusi untuk permasalahan saat ini adalah harus adanya pencatatan di pabrik soal nama-nama petani yang menyuplai buah sawit masuk pabrik. Sebab ini akan menguntungkan pabrik perusahaan karena ketika ada situasi normal, mereka akan menjual CPO dengan harga normal tetapi mereka membeli buah sawit dari petani dengan harga murah.

Karena itu, pencatatan di pabrik harus jelas, sehingga keuntungan mereka tadi saat situasi normal bisa dikembalikan kepada petani.

Solusi alternatif lainnya adalah mengalokasikan dana Sawit di BPDP-KS dengan program yang inovatif. Misalnya dengan bantuan pupuk atau berdasarkan kebutuhan petani. Sebab jika harga turun, petani tidak bisa membeli pupuk.

"Kami percaya, bahwa langkah-langkah yang di ambil oleh bapak presiden untuk ketersediaan bahan minyak goreng dalam negeri. Sebab para pelaku usaha, selalu sibuk memikirkan suplai produk olahannya ke luar negeri karena menguntungkan dan mereka melupakan tugasnya memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujar Darto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (24/4).

Baca Juga: GAPKI Siap Melaksanakan Kebijakan Larangan Ekspor Minyak Goreng dan Bahan Baku

Darto menilai masalah tersebut akan selalu terjadi ke depannya, sebab pelaku usaha minyak goreng mengusai hulu hilir minyak sawit (mereka miliki kebun juga memiliki refinery minyak goreng dan mereka hanya segelintir orang. Di satu sisi, sayangnya, negara tidak memiliki refinery minyak goreng.

Oleh karena itu, presiden harus memperkuat koperasi petani ataupun badan usaha negara untuk mengembangkan refinery minyak goreng baik skala mikro maupun skala besar. Hal ini agar negara selalu tidak kalah dengan segelintir orang tersebut.

"Ini juga bahaya bagi keamanan ekonomi dan politik dalam negeri. Dengan kartelisasi saja, bisa memporak-porandakan stabilitas politik dalam negeri," pungkas Darto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×