Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan tengah mengkaji potensi perluasan penerapan cukai bagi popok hingga tisu basah. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029. Sang menteri, Purbaya Yudhi Sadewa, telah meneken beleid tersebut sehingga resmi diundangkan pada 3 November 2025.
Meski begitu, sejumlah ekonom bubuhkan catatan untuk aturan tersebut. Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky memandang, kebijakan ini berpotensi memberikan tekanan langsung terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Pasalnya, mereka banyak bergantung pada dua produk tersebut sebagai kebutuhan rumah tangga dasar.
“Ini juga akan menimbulkan inflasi untuk produk rumah tangga,” kata Riefky kepada Kontan, Selasa (11/11/2025).
Meski begitu, Riefky memperkirakan penerapan cukai tidak akan terlalu menekan aktivitas produksi maupun investasi di industri tersebut. Hal ini disebabkan oleh karakter komoditas ini yang bersifat semi-pokok dan memiliki tingkat permintaan relatif stabil.
Baca Juga: Proyek Whoosh Disorot KPK, Ekonom: Pembebasan Lahan Rawan Praktik Culas
Dengan kata lain, meskipun harga naik, konsumsi terhadap popok dan tisu basah diperkirakan tidak akan turun drastis karena kebutuhan masyarakat terhadap produk ini sulit digantikan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin bilang, walau dampak inflasinya mungkin tidak besar secara agregat, efek psikologis terhadap persepsi masyarakat dan konsumsi rumah tangga bisa signifikan, karena lagi-lagi, popok dan tisu basah termasuk produk dengan konsumsi luas lintas kelas sosial.
Dari sisi industri, Wijayanto justru menilai kebijakan ini akan menimbulkan dampak signifikan terhadap rantai permintaan dan penawaran.
Pasalnya, dua produk tersebut memiliki kandungan lokal (local content) yang tinggi, sehingga penurunan produksi atau penjualan akan langsung memengaruhi sektor pendukung seperti industri kemasan, kertas, kimia, dan logistik, serta kondisi ketenagakerjaan di sektor manufaktur.
Wijayanto mencermati, secara global belum ada negara yang menerapkan cukai khusus untuk popok dan tisu basah. Umumnya, kedua produk ini hanya dikenai pajak pertambahan nilai dan pajak impor dengan tarif yang cenderung menurun.
“Sebaiknya pajak atau cukai bagi popok dan tisu basah ditunda pelaksanaannya, saat ini daya beli masyarakat sedang lemah,” pintanya.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho juga mengingatkan, aturan ini berpotensi mendorong munculnya praktik penggunaan kembali popok bekas secara tidak higienis, yang justru menimbulkan masalah kesehatan baru di masyarakat.
Dus, sebelum kebijakan dijalankan, pemerintah menurut Andry perlu menetapkan mekanisme yang jelas mengenai dasar pengenaan cukai.
Ia menilai, aturan teknis harus mencakup besaran tarif yang dikenakan, perbedaan perlakuan antar jenis produk, serta kategori popok anak dan dewasa yang memiliki karakteristik konsumsi berbeda.
Tanpa kejelasan ini, implementasi cukai dikhawatirkan akan menimbulkan ketimpangan dan kebingungan di lapangan.
Di sisi lain, Andry melihat masih ada alternatif kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan dibanding pengenaan cukai pada kebutuhan rumah tangga dasar. Salah satunya adalah penerapan cukai emisi bagi kendaraan berbasis bahan bakar fosil.
Menurutnya, kendaraan pribadi berdampak lebih negatif terhadap lingkungan, namun hingga kini belum dikenai mekanisme disinsentif yang memadai.
“Dan dalam hal ini kan kita tahu bahwa masyarakat yang kena, kan, bukan yang menengah ke bawah. Karena kita tahu bahwa kendaraan pribadi itu tidak banyak dikonsumsi kelas menengah ke bawah,” katanya.
Andry yakin, penerapan cukai emisi dapat memberikan efek ganda: meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak lingkungan sekaligus memperkuat penerimaan negara.
Indef menghitung, potensi penerimaan cukai emisi bisa mencapai lebih dari Rp 30 triliun per tahun—lebih tinggi dibandingkan potensi dari cukai plastik maupun minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Andry menyoroti pula belum tersedianya infrastruktur daur ulang yang memadai untuk produk popok di Indonesia. Alih-alih menambah beban cukai, pemerintah sebaiknya mendorong pengembangan fasilitas daur ulang dan inovasi bahan biodegradable agar pengelolaan limbah lebih efektif.
Dus, arah kebijakan cukai idealnya difokuskan pada sektor yang memiliki dampak lingkungan tinggi dan potensi penerimaan besar, tanpa mengorbankan kelompok rentan yang masih bergantung pada produk kebutuhan dasar seperti popok dan tisu basah.
Baca Juga: Rasio Pungutan PPN Indonesia Turun ke 45,2% pada Kuartal III 2025
Selanjutnya: Unitlink Saham Catat Return Tertinggi hingga September 2025
Menarik Dibaca: 9 Daftar Jus Penambah Berat Badan, Jus Pisang Salah Satunya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













