Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pemerintah ingin terus mendorong sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk bayar pajak. Untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor ini, pemerintah tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) tentang pajak UKM. Saat ini PP tersebut masih dalam tahap finalisasi.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan, sektor UKM yang jumlahnya mencapai jutaan di Indonesia masih belum tergali potensi perpajakannya. Makanya, Fuad bilang, lewat PP itu pedagang-pedagang menengah dan kecil akan diberikan insentif lewat kemudahan membayar pajak. Hal ini diharapkan bisa membuat Wajib Pajak di sektor UKM tak mangkir lagi bayar pajak. “Itu seperti pedagang-pedagang baju atau obat di pusat pertokoan dan perbelanjaan. Kita akan memberikan kemudahan dan insentif perpajakan sehingga akan membuat mereka mau membayar pajak,” katanya di Jakarta, Selasa (10/1).
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak, Syarifuddin Alsjah mengatakan, sejak tahun lalu Ditjen pajak sudah mulai melakukan kajian kontribusi penerimaan PPh UKM terhadap penerimaan perpajakan. Hasilnya, jumlah UKM sangat banyak namun kontribusinya terhadap penerimaan sangat minim. Hal ini ditengarai karena desain peraturan yang ada tidak mengarah khusus ke UKM. “Jadi sektor UKM dituntut bayar pajak secara normal seperti wajib pajak di sektor pertambangan, dengan SPT pajak yang sama,” katanya.
Makanya, dalam draft PP Pajak UKM yang sekarang dalam tahap finalisasi tersebut dibuatlah skema pelaporan dan tata cara pembayaran pajak yang tidak sama dengan wajib pajak lain. Jadi PP tersebut lebih bersifat semacam edukasi atau pengenalan tentang tata cara membayar pajak secara benar untuk sektor UKM. Misalnya, dalam prosedur SPT dibuat model yang lebih sederhana, cukup selembar SPT untuk keseluruhan pembayaran pajak UKM. Ditjen Pajak juga mengusulkan agar pembayaran pajak bisa dilakukan oleh pelaku UKM melalui ATM sehingga mereka tidak perlu datang ke kantor pajak. “Kalau mereka sudah baik dan paham dalam tiga tahun baru kami wajibkan secara utuh pembayaran pajak untuk mereka,” katanya.
Sasaran UKM yang akan dikenai pajak adalah UKM yang omzetnya di atas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sampai dengan Rp 4,8 miliar. Namun, besaran tarif pajaknya masih belum final. Kalau tarif pajak yang dikenakan makin tinggi, dikhawatirkan UKM tidak bisa bergerak, sehingga pemerintah masih akan mencari titik tengahnya. “Range-nya sekitar 3%-2% dari omzet, tapi masih usulan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan mengungkapkan pihaknya masih ingin bernegosiasi untuk mengenakan pajak UKM seminimal mungkin bagi UKM. "Kita maunya memang pada detik-detik terakhir kalau masih ada waktu kita akan evaluasi. Kalau bisa sih tidak ada (pajak UKM)," jelasnya baru-baru ini.
Dia mengatakan, Kemenkop dan Kemenkeu telah membahas mengenai besaran pajak UKM untuk UKM dengan omzet Rp 300 juta sampai Rp 4,8 miliar sebesar 2% dari pendapatan. Nah, untuk UKM dengan omzet di bawah 300 juta, Syarief bilang hingga saat ini berdasarkan hasil pembicaraan terakhir besaran pajaknya ditetapkan sebesar 0,5%. Tapi sepertinya Kemenkop masih ingin bernegosiasi. "Kalau bisa sih yang mikro itu (pajaknya) nol persen," ujarnya.
Dalam pembahasan terakhir, pemerintah masih mengkaji desain pajak untuk UKM sebesar 3% untuk UKM yang beromzet di atas Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar. Sebenarnya, Fuad menjelaskan, dari rencana pengenaan pajak 3% untuk UKM ini, sebesar 2% merupakan Pajak Penghasilan (PPh), sedangkan sisanya 1% merupakan Pajak pertambahan nilai (PPN). Nah, untuk UKM dengan omzet di atas kisaran omzet Rp 300 juta - Rp 4,8 miliar, pemerintah akan memberlakukan tarif pajak normal. "Iya, (kalau di luar kisaran omzet yang ditetapkan) tetap kena tarif normal. Kalau dia (termasuk) badan (usaha), dia kena tarif 25% dari profit," kata Fuad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News