kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah didesak tetap naikkan cukai rokok, ini alasannya


Kamis, 12 Agustus 2021 / 17:06 WIB
Pemerintah didesak tetap naikkan cukai rokok, ini alasannya
ILUSTRASI. Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Pemerintah didesak tetap naikkan cukai rokok, ini alasannya


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Sejumlah pihak meminta agar pemerintah tetap menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan melaksanakan simplifikasi, meskipun situasi perekonomian masih tertekan pandemi virus corona.

Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Risky Kusuma, mengatakan harga rokok yang mahal dengan cara menaikkan cukai hasil tembakau adalah hal yang mutlak dilakukan agar keterjangkauan pada rokok dapat ditekan.

Kenaikan cukai rokok ini juga harus didukung dengan penyederhanaan golongan tarif cukai yang selama ini menjadi penghalang kesuksesan cukai sebagai alat pengendalian konsumsi.

Dengan harga yang mahal, Risky menilai konsumsi rokok di masyarakat dapat lebih terkendali sehingga membantu menekan kasus Covid-19 sekaligus membantu pemerintah menekan beban ekonomi dari dampak pandemi.

Baca Juga: Pelaku usaha kecil HPTL minta perlindungan serta kepastian regulasi

Namun demikian, belum selesai dengan pandemi, Risky mengatakan Indonesia juga harus menelan pil pahit bahwa kita juga belum selesai dengan masalah konsumsi produk tembakau di Indonesia. Epidemi tembakau ini dapat dilihat dari betapa normalnya produk beracun ini dikonsumsi oleh banyak orang. Anak-anak pun dapat membelinya dengan mudah. 

“Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa selain pengaruh teman sebaya (peer effect), faktor harga (price effect) juga merupakan salah satu pendorong anak usia sekolah SMP-SMA mengonsumsi rokok. Ditambah lagi masih diperbolehkannya penjualan rokok secara batangan,” ujar Reisky dalam webinarar bertajuk Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok Bagi Ekonomi-Kesehatan Indonesia, Kamis (12/8). 

Menurutnya, murahnya harga rokok di Indonesia menjadi salah satu faktor terus naiknya prevalensi perokok anak yang saat ini terjadi, sesuai data Riskesdas, dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018). Angka ini telah melewati target capaian RPJMN 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4% pada tahun 2019. 

Di tengah pandemi, rokok yang sudah terbukti dapat memperparah sekaligus meningkatkan potensi transmisi virus corona (WHO, 2020) ternyata konsumsinya belum benar-benar dikendalikan.

Survei dari Komnas Pengendalian Tembakau pada tahun 2020 menunjukkan bahwa meski pandemi berpengaruh pada penghasilan responden secara ekonomi, nyatanya 49,8% responden masih menghabiskan uang belanja untuk rokok yang sama besarnya seperti sebelum pandemi, dan 13,1% responden justru naik jumlah konsumsi dan uang belanjanya untuk rokok saat pandemi.

Baca Juga: Berharap tarif cukai rokok 2022 tidak naik

Kecenderungan meningkatnya konsumsi rokok di masa pandemi menjadi kontraproduktif terhadap beban ekonomi pada masyarakat yang banyak terdampak akibat pandemi. Hal ini memperburuk situasi ekonomi yang telah dirugikan akibat konsumsi rokok, bahkan sebelum pandemi.

“Sebelum pandemi, konsumsi rokok menyebabkan kerugian ekonomi pada sistem layanan kesehatan sebesar Rp 27,7 triliun dan sebagian besar kerugian harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Apalagi di tengah krisis kesehatan seperti ini?” kata Yurdhina Meilissa Chief Strategist of Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di kesempatan yang sama.

Di sisi lain, Peneliti Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran Estro D. Sihaloho menyebutkan, jika saja masyarakat dapat menekan konsumsi rokoknya, beban ekonomi dirinya bahkan negara bisa berkurang dan bahkan terbantu.

“Sebesar R[ 11,4 - Rp 34,2 triliun keuntungan bisa didapatkan jika saja masyarakat mau mengurangi konsumsinya 3 - 9 batang per hari. Tentu ini akan sangat membantu Pemerintah di masa pandemi, yang artinya pemerintah harus membuat kebijakan yang kuat untuk mewujudkannya,” ungkapnya saat menyampaikan skema pengurangan konsumsi rokok terhadap potensi keuntungan ekonomi.

Sementara itu,  Direktur SDM Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengungkapkan pentingnya kenaikan cukai rokok untuk menyelamatkan ekonomi negara saat ini.

“Naikkan cukai rokok di atas 20% lalu berlakukan simplifikasi sampai dua golongan, saya yakin Pemerintah Indonesia akan merasakan keuntungannya, baik dari sisi berkurangnya beban ekonomi kesehatan akibat konsumsi rokok, juga dari sisi solusi krisis ekonomi di masa pandemi saat ini,” jelasnya. 

Baca Juga: Pelaku industri perlu dilibatkan dalam menekan prevalensi perokok

Seperti yang kita ketahui, kondisi krisis akibat pandemi juga berdampak pada sektor industri. Namun, tidak sama halnya yang terjadi dengan industri rokok. Merujuk Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), industri rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk milik Philip Morris asal Amerika Serikat (AS) mengantongi pendapatan Rp 47,2 triliun di semester I 2021.

Nilainya naik 6,5% ketimbang pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya. Begitu juga dengan Perusahaan rokok PT Gudang Garam International Tbk, pendapatannya juga naik 12,9% menjadi Rp 60,6 triliun. Kalau kita bandingkan, pendapatan perusahaan rokok ini jauh dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari provinsi mana pun, termasuk Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki PAD Rp 37,41 triliun. 

Tren kenaikan pendapatan industri rokok ini tidak mengherankan mengingat kecenderungan naiknya konsumsi rokok di masa pandemi. Hal ini menjadi ironis ketika Pemerintah menyertakan industri rokok sebagai industri yang juga turut mendapatkan keringanan berdalih terdampak pandemi, seperti adanya relaksasi pelunasan pita cukai.

Menurut Abdullah, kondisi tersebut terbilang ironis, apalagi ketika dorongan kenaikan cukai menguat, industri rokok akan berlindung di balik tameng “kepentingan petani” yang nyatanya tidak sinkron dengan kenyataan yang ada bahwa mereka tetap berjaya saat petani tembakau kesulitan.

“Kami sangat berharap seluruh Kementerian terkait bersepakat menentukan sikap dan keberpihakannya kepada rakyat, bahwa krisis pandemi Covid-19 akan sulit ditangani tanpa memiliki perspektif bahwa kita juga sedang mengalami krisis epidemi konsumsi produk tembakau saat ini," tambah Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah.

Selanjutnya: Simak rekomendasi Ciptadana untuk saham Gudang Garam (GGRM)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×