Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Chief Economist Pefindo Suhindarto menilai rencana pemerintah menarik utang baru dalam jumlah besar lewat obligasi pada 2026 mengandung sejumlah risiko yang perlu diperhatikan.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah berencana menarik utang baru Rp 781,87 triliun, dengan Rp 749,19 triliun di antaranya lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Jumlah ini mendekati level pandemi 2021 yang mencapai Rp 870,5 triliun.
Baca Juga: Ekonom Ungkap Risiko Penarikan Utang Jumbo Pemerintah Rp781,87 Triliun pada 2026
Dok Nota Keuangan RAPBN 2026
Menurut Suhindarto, tingginya penerbitan SBN tak hanya untuk membiayai belanja negara, tapi juga karena besarnya utang jatuh tempo pada 2026 yang mencapai Rp 802,65 triliun, lebih tinggi dibanding 2025 sebesar Rp 757 triliun.
Ia menilai ada beberapa aspek yang menentukan aman tidaknya penerbitan SBN. Pertama, defisit anggaran 2026 dipatok 2,48% dari Produk Domestik Bruto (PDB), masih di bawah batas UU sebesar 3%.
Baca Juga: DPR Minta Direksi Baru PT KAI Sampaikan Roadmap dan Rencana Kerja Secepatnya
“Angka penerbitan tersebut masih wajar jika mempertimbangkan defisit anggaran yang ditargetkan tersebut,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (20/8).
Kedua, rasio utang terhadap PDB diperkirakan naik jadi 40,7%, lebih tinggi dari 2024 (40,2%). Meski masih lebih rendah dari rata-rata negara dengan peringkat BBB (57,2%), hal ini perlu diwaspadai karena kenaikan utang lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, dari sisi bunga utang. Menurutnya penerbitan surat utang yang tinggi di tahun depan akan meningkatkan beban bunga.