kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah akan minta WTO bentuk panel kepatuhan


Rabu, 08 Agustus 2018 / 12:42 WIB
Pemerintah akan minta WTO bentuk panel kepatuhan
ILUSTRASI. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Agung Jatmiko

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia akan meminta organisasi perdagangan dunia atau world trade organization (WTO) untuk membentuk panel kepatuhan (compliance panel) untuk menilai secara objektif apakah Indonesia belum melakukan penyesuaian-penyesuaian yang direkomendasikan.

Penyesuaian ini dilakukan setelah panel sengketa WTO memutuskan bahwa 18 measures dalam kebijakan impor produk hortikultura, serta hewan dan produk hewan yang diterapkan Indonesia tidak sejalan dengan prinsip dan dispilin yang ditetapkan WTO.

“Hal ini akan kita tempuh karena sebetulnya Pemerintah telah melakukan penyesuaian sebelum 22 Juli 2018 dan pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari Amerika Serikat (AS) dan negara lainnya dapat mengekspor produk-produknya ke Indonesia,” ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (8/8).

Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mengamendemen beberapa Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan sejalan dengan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Berdasarkan kesepakatan dengan dewan banding WTO, Indonesia pun akan melakukan penyesuaian tahap pertama selambatnya pada 22 Juli 2018 dan tahap kedua pada 22 Juni 2019.

Sementara itu, baru-baru ini AS meminta Badan Penyelesaian Sengketa WTO untuk menunda pemberian konsesi tarif kepada Indonesia apabila Indonesia benar-benar gagal melaksanakan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

“Jadi sebenarnya pada tahapan ini, AS berupaya mengamankan haknya untuk melakukan retaliasi apabila Indonesia dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya sesuai rekomendasi dari Badan Sengketa WTO,” terang Iman.

Iman menjelaskan, permintaan otorisasi AS ini masih akan dibahas oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang akan melakukan pertemuan pada 15 Agustus 2018 mendatang. Menurutnya, jika Badan Penyelesaian Sengketa WTO mengabulkan permintaan otorisasi AS yang diajukan, masih perlu dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi ini. Dia pun mengatakan, nilai yang diajukan AS sebesar US$ 350 juta pun merupakan angka sepihak yang masih bisa diperdebatkan.

Untuk menyelesaikan masalah ini tanpa harus melalui langkah retaliasi, Pemerintah Indonesia berencana akan melakukan konsultasi dengan AS guna menjelaskan secara lebih rinci langkah-langkah yang telah diambil Pemerintah. Pihak AS telah memberikan indikasi kesediaannya untuk melaksanakan konsultasi bilateral sebelum keputusan final AS diambil apakah akan melakukan retaliasi atau tidak.

Dalam proses litigasi di WTO, aktivasi Pasal 22.2 dari WTO Dispute Settlement Understanding merupakan masalah prosedural agar negara yang merasa dirugikan (complainant) tidak kehilangan haknya bila merasa perlu melaksanakan retaliasi.

Dibanding jumlah kasus yang ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO selama ini, langkah retaliasi ini jarang ditempuh oleh complainant karena biasanya permasalahan yang ada dapat diselesaikan melalui konsultasi bilateral.

“Tampaknya ada masalah time-lag antara kesimpulan yang diambil oleh Perwakilan AS di WTO dengan kunjungan Menteri Perdagangan Indonesia ke Washington pada 24–27 Juli 2018 lalu, yang antara lain membahas penyelesaian sengketa di WTO ini,” jelas Iman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×