Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Upaya Ditjen Pajak (DJP) mendongkrak pendapatan negara dari pajak properti sepertinya sia-sia. Sebab, walau berpotensi menyumbang penerimaan perpajakan mencapai Rp 40 triliun, nyatanya nilai surat ketetapan pajak (SKP) yang sudah dikeluarkan otoritas pajak di Indonesia itu nilainya tidak lebih dari Rp 1 triliun.
DJP memang banyak berharap dari pemeriksaan pajak properti yang dilakukan sejak Agustus 2013 lalu. Dengan memeriksa sekitar 9.000 wajib pajak (WP) baik perorangan atau pun badan, diharapkan mampu menutup kekurangan penerimaan pajak tahun ini.
Potensi penerimaan pajak sebesar Rp 40 triliun, cukup fantastis jika melihat realisasi penerimaan pajak sektor properti tahun lalu yang hanya sebesar Rp 15,42 triliun.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany bilang, walau nilai SKP yang diterbitkan tidak sesuai harapan, namun pemeriksaan pajak properti akan terus dilaksanakan.
Setelah menyasar perusahaan besar, kali ini target pemeriksaan DJP adalah perusahaan properti kelas menengah. "Kelas menengah ini yang suka lolos dari pemeriksaan," katanya, Kamis (21/11).
Perusahaan properti kelas menengah, lanjut Fuad, biasanya membangun kondominium yang hanya diisi beberapa rumah saja. Jumlahnya sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.
Walau target potensi penerimaan pajak properti tahun ini belum tercapai, Fuad mengklaim ada perbaikan kepatuhan pembayaran pajak properti. Terbukti hingga akhir September 2013, penerimaan pajak properti naik cukup signifikan mencapai 34,1% menjadi Rp 15,01 triliun. Kenaikan terjadi karena pemberitaan pemeriksaan yang didengungkan sejak awal 2013.
Banyak alasan
Salah satu pejabat DJP yang tidak mau disebutkan namanya menceritakan, penyebab potensi pajak properti tidak bisa maksimal lantaran kurangnya jumlah pegawai pajak. Hal itu membuat pemeriksaan tidak berjalan sesuai rencana, apalagi satu perusahaan properti setidaknya membutuhkan minimal dua orang petugas pemeriksa.
Saat ini jumlah pemeriksa pajak hanya 5.000 orang, sehingga satu kantor pelayanan pajak (KPP) harus memeriksa setidaknya 200 perusahaan. "Padahal tahun ini juga sensus pajak," kata sumber tadi.
Alasan lain, Pajak kesulitan menggali data, dan waktu pemeriksaan yang pendek. Maklum selain memeriksa perusahaan, juga harus mengejar orang pribadi untuk mencocokkan datanya.
Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako realisasi Rp 1 triliun dari potensi Rp 40 triliun tidak masuk akal.
Untuk bisa mendapat hasil maksimal, Ronny menyarankan agar Ditjen Pajak tetap fokus memeriksa pengembang besar. Sebab biasanya harga jual pengembang besar juga sangat tinggi sehingga potensi penerimaan pajaknya juga cukup tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News