kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pembatasan impor barang konsumsi harus hati-hati karena efeknya luas


Senin, 20 Agustus 2018 / 19:57 WIB
Pembatasan impor barang konsumsi harus hati-hati karena efeknya luas
ILUSTRASI. Bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk pengenaan tarif baru pajak penghasilan (PPh) barang impor bagi barang-barang yang berhubungan dengan barang konsumsi maupun bahan baku. Saat ini, diperkirakan ada 600-800 barang impor yang terkena PPh impor. Atas kebijakan ini, pemerintah lebih menekankan kepada barang konsumsi yang diimpor.

Adapun soal tarif PPh impor kini sudah ada PMK Nomor 34 tahun 2017. Ada tiga tarif untuk seluruh barang impor yang diterapkan oleh pemerintah saat ini yakni 10%, 7,5%, 0,5%, dan 2,5% dari nilai impor untuk ketentuan yang berbeda-beda.

Dengan perubahan aturan ini, pemerintah menyatakan bahwa tarif PPh impor 7,5% akan dikenakan terhadap barang yang memiliki substitusi impor dalam negeri dan bukan termasuk jenis barang yang strategis. Dalam hal ini, pemerintah mengidentifikasi bahwa ada sekitar 500 jenis barang, termasuk berbagai macam belanja dalam jaringan luar negeri yang menyumbang lonjakan impor barang konsumsi.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, bila pemerintah tetap memaksa melaksanakannya, maka pemerintah harus hati-hati dalam menentukan komoditas yang akan diberhentikan karena implikasinya cukup luas.

Idealnya, menurut Shinta, barang yang impor yang dikendalikan adalah barang konsumsi yang sudah mampu untuk diproduksi oleh pelaku domestik. “(Idealnya) barang konsumsi yang kita sudah mampu untuk produksi dan memilik kapasitas produksi yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar domestik misalnya seperti pakaian, sepatu dan minyak goreng dan sayur-sayuran,” kata Shinta kepada KONTAN, Senin (20/8).

Meski begitu, ia mengatakan, sebaiknya untuk barang konsumsi pemerintah membedakan kelas konsumennya. “Misalnya untuk low end bisa pakai minyak sawit, middle end pakai minyak kelapa atau jagung, dan high end pakai minyak biji bunga matahari atau minyak zaitun,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pembatasan impor itu masih akan dikaji kembali oleh Kementerian Perindustrian (Kemperin). Menurut dia, impor yang akan dibatasi tersebut akan lebih banyak pada barang konsumsi. “Kebanyakan barang konsumsi. Bahan baku tentu tidak dipersulit ya dan juga barang modal,” ujarnya di Gedung DPR RI, Kamis (16/8).

Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pengendalian impor untuk bahan baku kemungkinan tidak akan terlalu menjadi masalah. Terlebih bila hanya menyangkut proyek-proyek BUMN. Namun, ketika impor barang konsumsi yang dikendalikan, hal ini bisa berpengaruh ke masyarakat

"Itu yang bisa ramai karena itu berkaitan dengan konsumen kan. Kalau mau dikontrol, ya paling yang reseller-reseller itu yang online-online itu. Itu mungkin bisa mengurangi (defisit transaksi berjalan)," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×