kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembatalan perda belum berefek signifikan


Rabu, 19 Oktober 2016 / 20:46 WIB
Pembatalan perda belum berefek signifikan


Reporter: Teodosius Domina | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah membatalkan 3.143 peraturan daerah. Namun perda-perda yang dibatalkan dinilai hanya yang bersifat ringan dan tidak berdampak signifikan.

Misalnya saja perda yang mengatur tarif pengurusan KTP yang seharusnya gratis dan tentang menara. Ada juga perda tentang sumbangan pihak ketiga. "Sumbangan kok wajib. Seperti-seperti itulah. Sementara Perda kelas berat belum sama sekali belum disentuh," ujar Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Rabu (19/10).

Selain itu pemerintah juga klaim Perda yang dibatalkan bisa memperpendek birokrasi. Namun menurut Endi sampai saat ini belum ada dampak yang signifikan. Ia mengibaratkan pembatalan ini seperti makan bubur panas. Yang dimakan bagian pinggir dulu yang suhunya dingin.

Sementara itu Armand Sulaiman, peneliti KPPOD bilang dalam kurun waktu 2010 hingga saat ini, pihaknya memantau 15.146 Perda yang berhubungan dengan pungutan daerah. Selama masa itu, KPPOD telah dua kali memberi rekomendasi kepada Kemendagri lantaran 434 mengandung masalah.

"Saat ini kami juga sedang mengajukan pencabutan atau pembatalan 152 perda bermasalah yang berisi tentang pungutan daerah," kata Armand.

Ia pun mencontohkan Perda 22/2012 di Kabupaten Pasuruan mengenai ketenagakerjaan. Ada tiga masalah dalam perda tersebut, pertama ketentuan kenaikan upah minimum 5% dari UMK kepada pekerja yang sudah menikah atau masa kerja di atas 1 tahun. Kedua, pengajuan pensiun dini di usia 45 tahun atau 20 tahun masa kerja harus diterima oleh perusahaan.

Ketiga, adanya persyaratan izin operasional berupa deposito Rp 250 juta bagi perusahaan outsourcing. "Selain tidak sesuai dengan regulasi nasional, aturan seperti ini ibarat melegalkan pungli," tandasnya.

Ada pula daerah, seperti di Serang dan Kota Banjarmasin yang memungut SIUP padahal dalam UU 28/2009 dan Permendag 39/2011 SIUP telah dilepaskan dari perhitungan retribusi.

Agung Pambudi, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bilang, sejak undang-undang otonomi daerah terbit dan pemerintah daerah memiliki kekuatan makin besar, pengusaha benar-benar struggling (harus berjuang) lantaran 5 izin dasar dipegang kepala daerah. Sementara itu pemerintah daerah sering mengeluarkan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Untuk itu ia mengusulkan perlunya penalti yang jelas sebagai law enforcement. "Misalnya dengan penyusutan porsi transfer ke daerah," tutur Agung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×