kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peluang dan tantangan iklim investasi di Indonesia versi ekonom Indef


Jumat, 17 Januari 2020 / 22:34 WIB
Peluang dan tantangan iklim investasi di Indonesia versi ekonom Indef
ILUSTRASI. Suasana bongkar muat kontainer di Jakarta International Container terminal (JICT), Jakarta (6/11). Untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia pemerintah kini tengah mengebut pembahasan revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang bidang usaha tertutup


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebutkan, ada empat hal yang mendasari ketertarikan investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Pertama, potensi demografi Indonesia yang muda dan produktif. Hal tersebut menjadikan prospek pasar Indonesia menjadi cukup menjanjikan.

Kedua, berlimpahnya sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku industri di Indonesia. Beberapa SDA yang cukup banyak menarik minat investor adalah batubara, karet, sawit, hingga nikel.

Baca Juga: Apa yang membuat investor tak realisasikan investasinyadi Indonesia?

Ketiga, adanya reformasi birokrasi. Penyederhanaan beberapa aturan oleh pemerintah dinilai cukup positif bagi proses izin investasi.

"Terakhir, adanya komitmen pemerintah dalam membangun infrastruktur guna menurunkan biaya logistik dan meningkatkan konektivitas antarwilayah," ujar Bhima saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (17/1).

Namun, sangat disayangkan karena berbagai faktor tersebut masih kalah dengan beberapa kendala yang kemudian menurunkan minat para investor untuk melakukan investasi di Indonesia.

Menurut Bhima, beberapa kendala utama yang menghalangi minat para investor adalah mahalnya biaya logistik, yaitu di atas 24% yang utamanya dipengaruhi oleh pungutan liar (pungli).

Kemudian, proses perizinan di daerah yang memakan waktu cukup lama. Lalu, kebijakan yang berubah-ubah juga ikut andil dalam hal ini, contohnya production sharing contract yang akhirnya menjadi gross split. Hal tersebut kemudian membuat investor bingung karena mempengaruhi rencana awal mereka.

Baca Juga: Populasi besar, bisnis ritel di Indonesia masih bisa berkembang

Adapun suku bunga domestik Indonesia yang masih terlampau mahal juga menjadi kekhawatiran investor. Terlebih, Indonesia sendiri merupakan negara dengan net interest margin (NIM) bank tertinggi di ASEAN, sedangkan investor juga masih mengandalkan pinjaman kredit dari lembaga keuangan.

Alasan lainnya adalah tingkat inovasi di dalam negeri yang masih rendah. Hal tersebut ditunjukkan dari biaya riset terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang hanya sebesar 0,3%. Artinya, investor akan membeli paten lebih banyak dari luar negeri.

Terakhir, adanya stabilitas politik terutama menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum (pemilu) yang menjadikan risiko investasi menjadi naik.

Baca Juga: Pemerintah pastikan bidang usaha ini masuk ke daftar prioritas investasi

Selain itu, Bhima juga menyatakan salah satu masalah terbesar yang sering kali dialami oleh Indonesia adalah adanya ketidakpastian hukum atau ketidakpastian kebijakan.

"Terkait kepastian kebijakan dan hukum, dalam laporan Indeks Daya Saing Global, masalah terbesar ke-lima di Indonesia adalah adanya ketidakpastian hukum atau ketidakpastian kebijakan. Hal itu disebabkan oleh pergantian rezim menteri yang kemudian berpengaruh pula pada penggantian aturan," kata Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×