Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menghadapi potensi lonjakan beban bunga utang pada tahun 2026 seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah dan masih tingginya suku bunga global, khususnya dari Amerika Serikat (AS).
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah bersama DPR menetapkan asumsi nilai tukar rupiah di kisaran Rp 16.500–Rp 16.900 per dolar AS. Angka ini jauh lebih lemah dibandingkan asumsi nilai tukar dalam RAPBN 2025 yang sebesar Rp 15.300 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa asumsi ini mencerminkan antisipasi terhadap masih tingginya suku bunga acuan The Fed yang berisiko mendorong pelemahan rupiah lebih lanjut.
"Setiap depresiasi rupiah terhadap dolar AS akan meningkatkan beban bunga utang pemerintah dalam denominasi valuta asing," ujar Josua kepada Kontan, Rabu (23/7).
Baca Juga: Rupiah Ditutup Menguat ke Rp 16.303 Per Dolar AS Hari Ini (23/7), Mayoritas Asia Naik
Menurutnya, pelemahan kurs rupiah akan langsung berdampak pada peningkatan biaya pembayaran bunga utang dalam valuta asing. Dengan pokok utang jatuh tempo pada 2026 diperkirakan mencapai Rp 803,2 triliun, potensi kenaikan beban bunga akan sangat signifikan.
Jika diasumsikan, depresiasi nilai tukar mencapai 8%–10% dibandingkan dengan asumsi tahun sebelumnya, maka beban bunga utang valuta asing pun bisa meningkat dalam kisaran yang sama.
"Jika beban bunga utang valas pada 2025 sekitar Rp 100 triliun, maka tahun 2026 bisa naik menjadi Rp 108 triliun sampai Rp 110 triliun," ungkap Josua.
Josua menjelaskan, ada beberapa faktor penting yang perlu diwaspadai dalam menghadapi potensi kenaikan beban bunga utang pada tahun 2026. Selain tekanan dari nilai tukar, tingginya yield Surat Berharga Negara (SBN) juga berkontribusi pada potensi lonjakan beban bunga.
Hingga pertengahan 2025, yield SBN 10 tahun masih berada di kisaran 6,8%–7,3%, yang menunjukkan bahwa biaya utang domestik pun belum sepenuhnya mereda.
Josua mengingatkan bahwa suku bunga tinggi yang dipertahankan The Fed untuk jangka waktu lebih lama akan berdampak pada kenaikan yield obligasi global. Jika pemerintah perlu melakukan refinancing terhadap utang jatuh tempo, maka pembiayaan tersebut berisiko dikenakan bunga yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Baca Juga: Kredit Perbankan Terseret Bunga Tinggi, Kalah Pamor dari Obligasi
"Gejolak geopolitik dan perang dagang yang masih berlangsung juga dapat memperburuk sentimen global, menyebabkan arus modal keluar, dan menekan nilai tukar serta yield obligasi," jelasnya.
Untuk mengantisipasi risiko kenaikan beban bunga, Josua menekankan pentingnya menjaga cadangan devisa agar tetap kuat sebagai buffer menghadapi gejolak pasar keuangan global.
Ia juga mendorong pemerintah untuk terus menjaga efisiensi belanja dan mengoptimalkan pendapatan negara agar keseimbangan fiskal tetap terjaga. Menurutnya, jika defisit APBN melebar tanpa kontrol, maka risiko fiskal, khususnya dari sisi pembayaran bunga dan pokok utang akan semakin besar.
Selanjutnya: Percepat Pemerataan Infrastruktur, MyRepublic Rambah 9 Kota Baru
Menarik Dibaca: Rayakan Hari Anak Nasional, Bluebird Ajak Anak Pengemudi Belajar Profesi di KidZania
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News