Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku pasar dan perekonomian Indonesia diliputi optimisme pasca pemilihan umum (Pemilu) usai. Meski hasil resmi belum rilis, calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Maaruf Amin untuk sementara diyakini akan memimpin di periode 2019-2024.
Kendati begitu, optimisme tersebut bukan tanpa syarat. Pemerintahan selanjutnya mesti mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama lima tahun terakhir masih berkutat di kisaran 5%. Padahal, dibutuhkan laju pertumbuhan sekitar 6%-7% per tahun agar Indonesia dapat menjadi negara maju dalam beberapa dekade ke depan.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai, diperlukan strategi dan program yang jelas dan saling mendukung untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Strategi dan program tersebut, menurutnya, tentu saja lahir dari koordinasi dan sinergi yang baik antar kementerian.
"Diperlukan Kementerian Koordinator Perekonomian dengan strategi besar dan kemampuan mengkoordinasikan seluruh kementerian dan lembaga. Ini yang selama ini terasa sebagai kelemahan di periode pertama (pemerintahan Jokowi)," ujar Piter, Jumat (19/4).
Selanjutnya, kata Piter, pemerintah perlu lebih rinci membuat perencanaan strategis beserta program-program turunannya untuk menyasar berbagai permasalahan ekonomi. Permasalahan utama di antaranya adalah defisit transaksi berjalan (CAD) serta membangun kembali industri sebagai sumber pertumbuhan ekonomi alias reindustrialisasi.
Sebelumnya, Piter mengatakan, selama ini pemerintah belum pernah benar-benar membahas dan mencari solusi bagi CAD.
"Solusi sekarang bukan memperbaiki current account, tapi hanya menambal dengan aliran modal asing di neraca transaksi modal dan finansial. Padahal itu membuat perekonomian kita jadi rentan karena bentuknya modal portofolio yang sangat mudah keluar dan masuk," kata Piter.
Piter juga menyoroti rasio penyaluran kredit terhadap PDB di Indonesia yang masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain di kawasan. Ini dinilainya menjadi salah satu penghambat laju investasi di dalam negeri sekaligus penghambat pertumbuhan ekonomi.
"Negara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam rasio penyaluran kredit terhadap PDB rata-rata di atas 100%, sedangkan Indonesia masih kecil sekitar 40%," terangnya.
Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perpajakan Herman Juwono menambahkan, pemerintah selanjutnya mesti serius mengeksekusi pergeseran fokus dari pembangunan infrastruktur ke pembangunan bidang lainnya.
"Pembangunan infrastruktur yang masif lima tahun terakhir sebaiknya dilonggarkan. Pemerintah bisa fokus pada isu kesejahteraan sosial, hingga ekonomi kreatif dan ekonomi digital," kata Herman, Minggu (21/4).
Di tengah potensi perlambatan ekonomi global, Herman menilai, kestabilan kebijakan menjadi kunci penting bagi pelaku usaha di tahun ini. Oleh karena itu, ia berharap tidak ada perombakan besar pada kebijakan ekonomi pemerintah yang berpotensi menghambat dunia usaha dan industri.
Komitmen pemerintah dalam kebijakan deregulasi dan penyederhanaan aturan juga mesti diteruskan, menurut Herman.
"Juga upaya menciptakan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi yang baru seperti Kawasan Industri, KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) ini juga bisa memicu pertumbuhan dan mestinya terus dikembangkan oleh pemerintahan selanjutnya," tandas Herman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News