kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Pelabuhan Cilamaya belum sesuai konsep tol laut


Senin, 23 Februari 2015 / 15:04 WIB
Pelabuhan Cilamaya belum sesuai konsep tol laut
ILUSTRASI. 5 Jenis Rempah yang Bermanfaat untuk Ibu Hamil


Reporter: Rani Nossar | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya dinilai tidak sesuai dengan konsep tol laut yang diusung Presiden Joko Widodo. Praktisi kebijakan publik Fachry Ali menilai, dalam konsep tol laut seharusnya pemerintah mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di luar Jawa. Terutama, titik-titik yang menghubungkan antara ujung Sumatera hingga ujung Papua.

Sedangkan di Jawa, tidak perlu ada lagi pelabuhan baru, melainkan cukup dengan mengembangkan dan meningkatkan pelabuhan yang sudah ada. Sebut saja Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Tanjung Priok Jakarta, dan Tanjung Perak Surabaya.

Jika pengembangan dilakukan seperti itu, maka upaya untuk mengintegrasikan wilayah-wilayah yang terpisah dengan laut menjadi sebuah jalur ekonomi yang efisien bisa tercapai. Sehingga konsep tol laut yang diharapkan bisa menjadi solusi pemerataan pembangunan di Indonesia pun bisa diwujudkan. Namun jika memaksakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya, justru sangat tidak efisien.

“Kebijakan ini yang saya sebut sebagai Jokowinomics. Yakni kebijakan pemerintah yang cenderung menjadi program belanja yang masif dan ekspansif (massive and expansive spending program). Bukankah membangun Pelabuhan Cilamaya dari nol serta memiliki banyak kontroversi, membutuhkan energi lebih besar daripada mengembangkan yang sudah ada?” kata Fachry dalam siaran persnya kemarin.

Menurut Fachry, pelabuhan Culamaya bukan hanya menjadikan koneksi jalan laut tidak efisien, tapi juga memiliki dampak buruk yang luar biasa. Mulai rusaknya pipa-pipa dan sumur-sumur minyak Pertamina hingga hilangnya peran Karawang sebagai penghasil beras nomor satu di Indonesia. Terlebih, hingga saat ini Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek tersebut pun masih bermasalah.

Dalam konteks itulah, Fachry mempertanyakan sikap Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang sangat bersikukuh melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Padahal, di sisi berbeda, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Adrinof Chaniago sudah mengatakan, akan mengkaji ulang rencana pembangunan tersebut.

Polarisasi tersebut, selain memunculkan kesan bahwa tidak ada koordinasi di antara pemerintah, juga berpotensi memunculkan kecurigaan publik. “Apa sebenarnya motivasi Menhub? Untuk kepentingan siapa Cilamaya? Mengapa tidak mementingkan pengembangan pelabuhan yang sudah, seperti Tanjung Emas? ” kata pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia ini.

Tentang kesiapan pengembangan Tanjung Emas, dibenarkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Menurutnya, sudah jauh-jauh hari dirinya mengajukan proposal, namun hingga kini belum ada lampu hijau dari pemerintah pusat.

Padahal, semua sudah siap, tanpa kendala berarti, termasuk persoalan Amdal. “Ini menunggu kemauan politik saja sebenarnya. Tinggal ya, pembangunan sudah bisa jalan saja. Tetapi ini masih menunggu,” kata Ganjar.

Ganjar pun berharap, political will itu tidak terlalu berlarut-larut. Karena sebagai interkoneksi jalan laut, pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas akan sangat mendukung tol laut yang diandalkan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×