Reporter: Gloria Fransisca | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Eep Saefulloh Fattah berujar, Pemilu Legislatif (Pileg) yang baru dilalui sepekan ini perlu diapresiasi (16/4).
Menurut Eep, paska Pileg, perlu dievaluasi kembali masalah klasik yang otomatis akan dihadapi oleh Presiden adalah kondisi parlemen semu yang cukup menyulitkan.
Kondisi parlemen semu ini sesungguhnya bisa dilihat dari potensi kecurangan yang terjadi. Hal ini, dimana ada sisi positif yang berkembang, namun juga ada sisi negatif yang berjalan.
"Misalnya, dari segi monitoring, saya menilai Pemilu 2014 jauh lebih baik sistemnya. Tetapi, dari segi logistik belum memadai, dan harus diurus," ujarnya.
Sembari menunggu rekapitulasi, Eep juga percaya bahwa pihak penyelenggara tentu sudah mengumpulkan dan akan segera memproses pelanggaran yang sudah ditemukan.
Kondisi simpang siur dalam penentuan capres dan cawapres serta riuhnya isu koalisi bagi Eep sangat lumrah di Indonesia. Namun, berlakunya sistem multipartai dan pemerintahan presidensial membuat sistem presidensial kita mulai tak murni.
"Presiden akan tersulitkan, karena koalisi tidak bisa dihindarkan," ujarnya.
Inilah yang dinilai oleh Eep seringkali membuat pemilihan presiden tidak bisa dilepaskan dari kekuatan parlemen. Hal ini seringkali disebut dengan istilah parlemen semu, dimana ketika presiden terpilih, dia tidak bisa mengindahkan diri dari kekuatan parlemen. Sebab, ada hak, kewenangan, dan otoritas yang harus dibagi.
"Kita berbeda dari Amerika Serikat (AS) yang presidensial dengan dua partai saja. Akibatnya, kondisi iklim pemilihan presiden di AS bisa terlepas kaitannya dari campur tangan partai," ujar Eep.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News