Reporter: Gloria Fransisca | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Sejak tahun 1955, Indonesia belum pernah melakukan koalisi yang berbasiskan ideologi semata, khususnya ideologi agama. Terdorong oleh hal itu, pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, meyakini kekuatan basis koalisi jika hendak dilakukan dalam latar kesamaan ideologi agama tidak akan meraup suara yang banyak.
Yunarto menilai tahun 1999, kekuatan ideologi yang besar untuk berkoalisi tidak bisa disamakan dengan konteks Indonesia tahun 2014 ini. Hal ini mengingat pada masa itu, ada kekuatan ketokohan yang besar yakni Gus Dur yang mendorong euforia masyarakat dan memperkuat niat partai-partai dengan landasan ideologi keagamaan untuk bersatu.
"Poros tengah tahun 1999 ada sosok yang besar bernama Gus Dur, dan di lain pihak ada sosok oposisi yang juga besar bernama Megawati. Pertanyaannya, apakah tahun 2014 ini kita memiliki variabel tokoh yang cukup kuat seperti itu, yang cukup kuat menandingi kandidat yang ada sekarang yakni Jokowi, Prabowo, dan Aburizal Bakrie," ujar Yunarto mencoba memberikan gambaran umum.
Ketika prasyarat ketokohan ini oleh basis ideologi ini diakui tidak bisa dipenuhi, Yunarto menyarankan seharusnya pembentukan koalisi berbasis keagamaan cukup sadar diri bahwa bentukan tersebut tetap tidak akan bisa memenangkan pertarungan mengingat yang dihadapi ini adalah pertarungan Pilpres. Yunarto juga beranggapan kalaupun koalisi ini berhasil menyodorkan nama-nama tokoh untuk dijadikan sosok capres dan cawapres, kendala berikutnya adalah bagaimana merumuskan dan memenangkan ego di antara mereka yang tergabung dalam koalisi tersebut.
"Menurut saya pada akhirnya pragmatisme akan mengalahkan logika atau ide mengenai partai Islam. Mengingat logika dalam kekuasaan pun, di mana mereka akan cenderung mendekat kepada capres yang berpeluang besar untuk menang," ungkap Yunarto.
Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika ini pun partai-partau Islam yang hendak berkoalisi akan punya kecenderungan mengedepankan ego kader-kader mereka untuk masuk dalam bursa capres dan cawapres. Hal ini mengingat tidak ada nama yang kuat, sehingga partai-partai ini akan berpikir bagaimana menyusup dalam poros besar dan menjadi cawapres, dibandingkan memaksakan diri masuk dalam poros baru yang justru berpeluang besar untuk kalah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News