Reporter: Umar Tusin | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi utang pemerintah sampai akhir Januari 2020 sebesar Rp 4.817,55 triliun, naik Rp 39 triliun dibandingkan posisi Desember sebesar Rp 4.778 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara menjelaskan, ada beberapa indikator yang menunjukkan belum seimbang antara pertumbuhan utang dan produktivitas.
Menurutnya, rasio utang terhadap pendapatan atau debt to services ratio (DSR) pada kuartal IV 2019 berada di angka 26% dan masih relatif tinggi dibanding posisi tahun sebelumnya di 25,1%.
Baca Juga: Akhir Januari 2020, utang pemerintah naik menjadi Rp 4.817,55 triliun
“Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan utang luar negeri (ULN) belum disupport oleh kenaikan penerimaan dari sisi ekspor, dan devisa lain (pariwisata),” ujar Bhima pada Kontan.co.id, Jumat (21/2).
Indikator kedua adalah rasio kepemilikan asing pada surat utang yang mencapai 38,5%, angka ini tertinggi dibandingkan negara Asia lainnya.
Menurut Bhima, jika ketidakpastian meningkat, kondisi ini akan memicu gejolak pada sektor keuangan akibat keluarnya hot money dari pasar surat utang.
Selain itu, Bhima memprediksi DSR akan mengalami peningkatan karena kegiatan ekspor mengalami penurunan 3.71% yoy pada bulan Januari.
“Penerimaan devisa dari pariwisata juga anjlok seiring dampak virus corona. DSR diperkirakan berada di 28-30% pada akhir 2020,” ujar Bhima.
Kemudian, Bhima melihat ada tanda penerimaan negara cukup rendah di bulan Januari sehingga defisit melebar ke angka Rp 36 triliun.
Dengan begitu, Bhima memperkirakan utang pemerintah pada bulan Februari akan naik menjadi Rp 5.000 – 5.150 triliun sebagai konsekuensi menutup pelebaran defisit anggaran.
Baca Juga: Kepemilikan Asing di Surat Berharga Negara (SBN) Menciut
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fitrha Faisal mengatakan, peningkatan utang masih dalam rentang yang wajar dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Memang jika dari penambahan nilai absolutnya besar, tapi kalau dilihat dari porsinya terhadap GDP (gross domestic product) ini masih 30% masih aman,” ujar Fithra.
Fithra mengatakan, jika utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang produktif maka itu bukan menjadi suatu masalah. Fithra melihat utang luar negeri sudah digunakan dari sisi market melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan sumber-sumber yang lain.
Untuk bulan Februari, Fithra memprediksi pemerintah masih akan tetap mengupayakan aktivitas front loading, yang kemungkinan akan terjadi sedikit peningkatan utang meskipun tidak terlalu signifikan.
Baca Juga: Cetak Rekor Lagi, Penawaran Lelang Surat Utang Negara (SUN) Mencapai Rp 127 Triliun
Menurutnya akan ada penambahan utang sekitar Rp 20 triliun – Rp 30 triliun di antara bulan Februari dan Maret.
“Saya melihat turunnya suka bunga Bank Indonesia dan potensi turunnya The Fed, untuk memanfaatkan momentum ini menerbitkan obligasi ya sekarang, daripada nanti lebih mahal lagi,” ujar Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News