Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Reformasi perpajakan yang sedang digagas Amerika Serikat (AS) bakal berefek ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Apalagi AS berencana memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi dari 35% menjadi 15%, jauh lebih rendah dari tarif pajak korporasi di Indonesia sebesar 25%.
Tanpa reformasi pajak secara total, termasuk pemangkasan tarif pajak, daya saing ekonomi Indonesia akan semakin lemah jika langkah AS diikuti negara-negara lain. Apalagi tarif PPh bagi perusahaan di Indonesia masih tinggi dibandingkan negara lain.
Lihat saja. Di Singapura, tarif PPh perusahaan sebesar 17%, Thailand mematok 23%. Malaysia bahkan tengah mengkaji penurunan tarif PPh badan dari 24% menjadi 15%. Adapun tarif PPh perusahaan di Vietnam turun dari 22% menjadi 20%, dan akan dipangkas lagi menjadi 17%.
Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, reformasi pajak AS yang dihelat Trump perlu jadi perhatian serius. Sebab, reformasi pajak AS bisa mengubah total lanskap pajak global. "Akan muncul kompetisi tarif. China dan negara-negara Eropa kemungkinan merespons langkah AS yang akhirnya mengubah pola investasi global," kata Bawono, Selasa (5/12).
Selain penurunan tarif, perubahan sistem pemajakan AS dari worldwide tax system menjadi territorial tax system juga harus diperhatikan. Dengan sistem baru itu, negara tidak memungut pajak penghasilan yang diterima residen yang bersumber dari luar AS, melainkan hanya yang diperoleh di negara tersebut, siapa pun orangnya.
Menurut Bawono, reformasi pajak AS ini sejalan dengan tren di berbagai negara selama tiga tahun terakhir yang lebih pro terhadap upaya meningkatkan pertumbuhan. "Banyak negara OECD sekarang beralih ke territorial system," jelas Bawono.
Kedua agenda reformasi ini menurut Bawono perlu dipertimbangkan oleh Indonesia, terutama tarif. Namun demikian, penurunan tarif PPh badan tidak harus drastis dan perlu tetap memperhatikan broad base-low rate. "Artinya penurunan tarif harus beriringan dengan perluasan basis," terang Bawono.
Namun, Chief Economist SKHA Institute of Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi menilai, Indonesia justru berisiko jika memangkas tarif pajak seperti AS. Langkah itu belum tentu menarik minat investasi. Sebab, faktor pajak hanya salah satu faktor di antara faktor lainnya. "Memotong pajak korporasi di Indonesia juga tidak serta merta mendorong pertumbuhan investasi jika daya beli masyarakat, misalnya, masih lemah," katanya.
Menko Perekonomian Darmin Nasution juga menegaskan, Indonesia belum perlu memangkas tarif pajak korporasi. Menurutnya, semua negara memiliki cara masing-masing untuk mendorong perekonomian.
Indonesia hanya perlu fokus pada misi yang dimiliki. "Masing-masing punya strategi untuk mengatasi persoalannya. Kalau AS mau memangkas pajak kita lihat seperti apa jadinya," ujar Darmin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News