kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.302   20,00   0,12%
  • IDX 7.179   38,11   0,53%
  • KOMPAS100 1.031   5,07   0,49%
  • LQ45 784   4,64   0,60%
  • ISSI 235   1,24   0,53%
  • IDX30 405   2,51   0,62%
  • IDXHIDIV20 466   3,43   0,74%
  • IDX80 116   0,71   0,62%
  • IDXV30 118   1,37   1,17%
  • IDXQ30 129   0,69   0,53%

Pangkas pajak demi kepuasan pembelanja


Kamis, 25 Juni 2015 / 12:29 WIB
Pangkas pajak demi kepuasan pembelanja


Reporter: Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Pemerintah kembali mengutak-atik kebijakan perpajakan. Kali ini dengan menghapus Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sejumlah barang, namun di sisi lain menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang terkait impor. Dua kebijakan yang saling berkaitan ini disebut-sebut bertujuan untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

Ada sekitar 22 kelompok barang yang dihapuskan dari daftar wajib membayar PPnBM dengan tarif 10%, 20%, 30%, dan 40%. Di antaranya, peralatan elektronik, alat olahraga, alat musik, barang bermerek ternama (branded goods), serta peralatan rumah dan kantor.

Nah, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106 Tahun 2015 yang ditetapkan pada 8 Juni lalu, tarif PPnBM diubah menjadi 20%, 40%, 50%, dan 75%. Jumlah produk yang diperlakukan sebagai barang mewah juga lebih ramping, yakni cuma lima kelompok.

Sebagai gantinya, tarif PPh impor atas semua barang yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak barang mewah ini dinaikkan. Awalnya, besaran PPh impor yang berlaku sebesar 7,5%. Kini, tarif barunya menjadi 10%.

Perubahan kebijakan perpajakan ini sontak mengubah postur penerimaan negara. Pemerintah memperkirakan, penghapusan PPnBM memunculkan potential loss sekitar Rp 900 miliar. “Kehilangan pendapatan dari PPnBM itu akan tertutupi dengan PPn dalam negeri karena tujuan utama kita dari penghapusan PPnBM ini adalah kenaikan konsumsi,” kata Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak.

Sementara, pendapatan negara dari kenaikan PPh Pasal 22 impor tidak bisa diharapkan. Lantaran di akhir tahun, PPh Pasal 22 bisa dikreditkan sebagai bagian dari pajak penghasilan yang dibayarkan oleh importir.

Sepintas langkah ini seperti tidak mendukung keinginan pemerintah menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak. Namun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara yakin, dampak positif yang bisa diraih adalah daya beli masyarakat bisa didongkrak. Dengan begitu, akan ada lebih banyak barang yang bisa dijual.

Ujung-ujungnya, setoran pajak penjualan yang bisa diraup lebih banyak lagi. “Kami ingin perekonomian bergerak lebih cepat, artinya orang mau melakukan transaksi. Kalau pajaknya turun, harganya akan turun kan,” kata Suahasil.

Lagipula, sebagian barang yang dikeluarkan dari kategori mewah, seperti televisi, kini sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Dulu, saat beleid soal barang mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM pertama kali ditetapkan pada 1985, televisi memang masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.


Harga tetap anteng

Namun harapan pemerintah bahwa harga barang akan turun pasca penghapusan PPnBM bagai jauh api dari panggang. Chief Commercial Officer PT. Denpoo Mandiri Indonesia Iffan Suryanto menyebut, produsen dan distributor tak bakalan serta-merta memangkas harga jual produknya. Menurut dia, efek maksimal yang bisa diharapkan hanyalah kenaikan harga barang bisa lebih tertahan.

Dalam beberapa bulan terakhir pelemahan rupiah jauh lebih signifikan menekan kinerja pebisnis elektronik. Jadi, penghapusan PPnBM bak kompensasi atas kerugian akibat selisih kurs yang selama ini mereka tanggung. “Jadi saya enggak yakin akan ada penu-runan harga,” tandas Iffan.

Ekonom Agustinus Prasetyantoko menilai, kebijakan perpajakan yang lebih longgar adalah risiko yang harus dijalankan pemerintah saat menghadapi perlambatan ekonomi. Pasalnya, jika penurunan daya beli masyarakat tidak dihadang dengan kebijakan pemerintah, seperti penghapusan PPnBM, kondisi bisa memburuk.

Apalagi, ada masalah lain yang juga mesti disiasati, yakni pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. “Kalau pajaknya tetap dan nilai tukar rupiah melemah, bisa menimbulkan masalah lebih besar lagi,” kata ekonom Universitas Atmajaya, Jakarta itu.

Meski begitu, Prasetyantoko mengkritik langkah pemerintah yang terkesan serampangan memilih barang yang dikeluarkan dari kewajiban membayar PPnBM. Menurut dia, barang-barang yang terkait dengan gaya hidup atawa lifestyle seharusnya tetap dikenai pajak barang mewah.

Ambil contoh, branded goods atau barang mewah, seperti tas premium. Dalam aturan lama, tas kulit dengan harga jual atau nilai impor Rp 5 juta ke atas dikenai PPnBM sebesar 40%. Nah, lazimnya, pembeli produk semacam ini berasal dari kalangan menengah ke atas yang tidak terlalu ambil pusing dengan urusan pajak dan harga jual barang.

Namun, Suahasil berkelit dan menilai penghapusan PPnBM masih keliru diinterpretasikan sebagian kalangan. Pemerintah dianggap mendorong masyarakat untuk membeli branded goods impor lantaran sekarang harganya jauh lebih murah setelah PPnBM dihapus. Padahal, pemerintah berpandangan, selama ini produk-produk mahal semacam itu sudah lazim digunakan orang kaya Indonesia. Tapi mereka cenderung membeli di luar negeri karena percaya harganya lebih murah.

Nah, setelah PPnBM dihapus, pemerintah berharap orang-orang kaya tadi beralih belanja branded goods di Indonesia. Dengan begitu, manfaat yang diterima lebih optimal. “Yang untung, ya, pengusaha yang jualan produk itu. Ketika pengusaha untung lebih banyak, berarti mereka bayar pajak penghasilan juga lebih banyak, kan,” ujar Suahasil.

Ya, semoga penghapusan pajak ini memang jadi magnet.    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 39-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×