Reporter: Noverius Laoli | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Upaya pemerintah meredam kenaikan harga pangan dengan membuka keran impor dinilai sudah terlambat. Sebab pasar sudah terlanjur bergejolak karena pasokan kurang. Sementara untuk impor, dibutuhkan waktu dan dinilai tidak mampu lagi mengejar harga pangan yang sudah terlanjur meroket.
Pengamat Ekonomi Agribisnis dan Direktur Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Daryanto mengatakan impor pangan yang serba mendadak saat ini tidak lagi mampu meredam harga pangan di pasaran. Pasalnya, pasar sudah mengetahui kalau pasokan pangan kurang sehingga otomatis harga akan naik.
Pada tiga komoditas impor ini yakni bawang merah, daging sapi dan gula merupakan komoditi pangan strategis dan menjadi penentu inflasi pangan. "Kontribusi tiga komoditas pangan ini sangat tinggi terhadap inflasi dan bahkan penentu inflasi," ujarnya kepada KONTAN, Senin (6/6).
Ia mengatakan seharusnya pemerintah perlu memiliki managemen pasokan pangan yang baik. Artinya, minimal tiga bulan sebelum lebaran, pemerintah sudah memiliki data akurat berapa kebutuhan pangan, berapa ketersediaan dalam negeri dan berapa kekurangan yang harus diimpor.
Dengan demikian, keputusan impor pangan sudah segera diambil dan pada saat memasuki bulan Ramadhan sudah tidak ada lagi kisruh pangan dan kebijakan impor mendadak.
Ia mengambil contoh, ketersediaan daging sapi nasional baru 70% dari daging lokal dan 30% dari impor. Seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi ini jauh-jauh hari karena selalu terjadi menjelang lebaran.
Demikian juga dengan bawang merah. Indonesia memang sudah swasembada bawang merah, cuman, panen bawang merah ini musiman, sementara kebutuhannya sepanjang tahun, maka perlu solusi yang cepat untuk itu.
Namun karena data pangan yang simpang siur, dan tingginya ego sektoral antara kementerian membuat pemerintah kalang kabut menghadapi lonjakan harga saat menyambut lebaran karena belum ada persiapan yang matang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News