Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah merumuskan kebijakan baru untuk pajak penghasilan (PPh) final dari bunga obligasi pemerintah. Hal ini dilakukan lantaran bunga obligasi mempengaruhi permintaan imbal hasil atau bunga yang lebih tinggi dari para investor dalam lelang.
Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah sendiri sudah naik mencapai lebih dari 8% seiring meningkatnya ketidakpastian di pasar finansial global. Bila imbal hasil naik, meskipun negara mendapatkan penerimaan pajak, pemerintah harus membayar bunga yang lebih tinggi.
Aturan atas PPh bunga obligasi diatur dalam PP No. 100/2013. Dalam aturan tersebut, bunga obligasi bisa dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. Besarannya 15% bagi wajib pajak dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT). Sementara, untuk wajib pajak luar negeri selain BUT sebesar 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, secara umum pajak atas passive income di Indonesia memang cukup tinggi sehingga instrumen seperti obligasi negara jadi kurang atraktif. Idealnya, menurut Yustinus, pajak bisa menjadi insentif orang membeli obligasi, khususnya yang mau membeli obligasi dengan tenor lebih lama.
"15% untuk wajib pajak dalam negeri masih cukup tinggi menurut saya. Kalau volume belum besar, nol sampai 5% saya kira akan menarik sehingga yield tinggi buat investor,” katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (23/9)
“Untuk wajib pajak luar negeri sebenarnya sudah dapat insentif untuk obligasi yang dijual di global market, tetapi saya kira treaty benefit bisa dioptimalkan sehingga tarifnya bisa ke 10%," lanjutnya.
Sebelumnya pada 2016, Kementerian Keuangan (Kemkeu) pernah mengkaji PPh atas bunga obligasi pemerintah menjadi nol persen dengan rencana merevisi PP tersebut. Namun, ide ini menghilang begitu saja seiring pertimbangan pemerintah atas dampak dari rencana tersebut.
Berdasarkan kajian Kemkeu pada 2016, jika PPh itu tetap dipertahankan, pemerintah akan mendapatkan penerimaan dari bunga obligasi tetapi beban bunga SBN bisa meningkat. Sementara, jika PPh itu dihapus likuiditas bisa bertambah lantaran harga obligasi pemerintah menjadi lebih murah tetapi pemerintah tidak akan mendapatkan penerimaan langsung dari bunga obligasi.
Di sisi lain, penghapusan PPh juga berpotensi meningkatkan porsi kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN). Per 12 September 2018 kepemilikan asing di SBN susut menjadi 36,81%. Sepanjang 2018, porsi asing sempat mencatatkan posisi tertinggi, yaitu pada 25 Januari 2018 sebesar 41,52%
Meski begitu, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menyebutkan, pajak atas bunga obligasi hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan investor. Pajak bukan selalu faktor dominan dalam menentukan investor akan investasi atau tidak dan memecahkan masalah yield yang tinggi seperti saat ini.
“Selalu faktor pajak yang akan diutak-atik. Dengan kata lain, pajak menjadi solusi ketika faktor lain tidak mendukung. Ini yang sebenarnya kurang tepat,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id. “Jangan sampai masalahnya ada di elemen lainnya tapi pajak yang dijadikan alat untuk menstimulus. Ini yang sering terjadi,” imbuh dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News