Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah merumuskan kebijakan baru untuk pajak penghasilan (PPh) final dari bunga obligasi pemerintah. Hal ini dilakukan lantaran pajak bunga obligasi mempengaruhi permintaan imbal hasil atau bunga yang lebih tinggi dari para investor dalam lelang.
Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah sendiri sudah naik mencapai lebih dari 8% seiring meningkatnya ketidakpastian di pasar finansial global. Bila imbal hasil naik, meskipun negara mendapatkan penerimaan pajak, pemerintah harus membayar bunga yang lebih tinggi.
Sebelumnya pada 2016, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengkaji PPh atas bunga obligasi pemerintah menjadi nol persen dengan rencana merevisi peraturan pemerintah (PP). Namun, ide ini menghilang begitu saja seiring pertimbangan pemerintah atas dampak dari rencana tersebut.
Direktur Pinjaman dan Hibah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu Scenaider Siahaan mengatakan, kebijakan yang didiskusikan oleh pemerintah belum pasti akan seperti apa. Namun, arahnya bisa jadi PPh atas bunga obligasi pemerintah menjadi nol persen seperti yang pernah dikaji 2016 lalu.
“Iya. Semua masih dalam kajian dan diskusi. Belum final,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (23/9).
Scenaider mengatakan, diskusi yang ada kini juga mempertimbangkan macam-macam praktik perpajakan bunga obligasi pemerintah di berbagai negara. “Tergantung Menkeu saja yang memilih,” ujarnya.
Berdasarkan kajian Kemkeu pada 2016, jika PPh itu tetap dipertahankan, pemerintah akan mendapatkan penerimaan dari bunga obligasi tetapi beban bunga SBN bisa meningkat. Sementara, jika PPh itu dihapus likuiditas bisa bertambah lantaran harga obligasi pemerintah menjadi lebih murah tetapi pemerintah tidak akan mendapatkan penerimaan langsung dari bunga obligasi.
Saat ini, aturan atas PPh bunga obligasi diatur dalam PP No. 100/2013. Dalam aturan tersebut, bunga obligasi bisa dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. Besarannya 15% bagi wajib pajak dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT). Sementara, untuk wajib pajak luar negeri selain BUT sebesar 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemkeu Suahasil Nazara mengatakan, pihaknya tengah melakukan kajian atas PPh ini bersama dengan DJPPR dan Ditjen Pajak. Dalam hal ini, pemerintah membandingkan pajak atas bunga obligasi dengan pajak atas bunga instrumen investasi lainnya. Misalnya, dengan pajak atas bunga deposito.
Pemerintah juga membandingkan pajak antar pemegang obligasi. Sebab selama ini, pemegang obligasi yang berbeda dikenakan tarif pajak atas bunga yang berbeda-beda pula.
"Nah, kami pahami bahwa kami sebaiknya membuat suatu sistem perpajakan yang sederhana. Kami cari upayanya ke sana. Rumusan kebijakannya masih kami finalisasi," kata Suahasil Jumat lalu.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, secara umum pajak atas passive income di Indonesia memang cukup tinggi sehingga instrumen seperti obligasi negara jadi kurang atraktif. Idealnya, menurut Yustinus, pajak bisa menjadi insentif orang membeli obligasi, khususnya yang mau membeli obligasi dengan tenor lebih lama.
"15% untuk wajib pajak dalam negeri masih cukup tinggi menurut saya. Kalau volume belum besar, nol sampai 5% saya kira akan menarik sehingga yield tinggi buat investor. Untuk wajib pajak luar negeri sebenarnya sudah dapat insentif untuk obligasi yang dijual di global market, tetapi saya kira treaty benefit bisa dioptimalkan sehingga tarifnya bisa ke 10%," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News