kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.694.000   -13.000   -0,76%
  • USD/IDR 16.405   1,00   0,01%
  • IDX 6.597   9,60   0,15%
  • KOMPAS100 959   -8,17   -0,84%
  • LQ45 742   -5,79   -0,77%
  • ISSI 206   0,35   0,17%
  • IDX30 385   -2,52   -0,65%
  • IDXHIDIV20 468   -0,51   -0,11%
  • IDX80 108   -0,97   -0,89%
  • IDXV30 113   -1,71   -1,49%
  • IDXQ30 127   -0,58   -0,45%

Pajak Karbon: Potensi Penerimaan Rp27,9 Triliun yang Masih Tertunda


Rabu, 26 Februari 2025 / 09:46 WIB
Pajak Karbon: Potensi Penerimaan Rp27,9 Triliun yang Masih Tertunda
ILUSTRASI. Sebagai knowledge partner dalam program IDX Net Zero Incubator 2024 yang diselenggarakan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT SUCOFINDO memberikan pelatihan tentang penghitungan dan penilaian emisi gas rumah kaca kepada 110 perusahaan yang tercatat di BEI.


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pajak karbon yang seharusnya diberlakukan sejak tahun 2022 terus mengalami penundaan. Alasan-alasan seperti ketidaksiapan industri dan kondisi ekonomi sering dijadikan alasan, sehingga menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha.

Perpajakan, melalui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), direncanakan akan mulai berlaku pada April 2022. Namun, hingga saat ini, implementasinya terus tertunda.

Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset Bright Institute, menyoroti bahwa penundaan ini menciptakan ketidakpastian bagi industri dalam merancang strategi bisnisnya.

“Jika kebijakan ini dijalankan sesuai perencanaan, perusahaan akan memiliki stabilitas dan kepastian hukum dalam transisi energi,” ujar Andri kepada Kontan.co.id, Rabu (26/02).

Baca Juga: Rencana Pajak Karbon, INDEF Ingatkan untuk Fokus pada Transisi Energi

Andri juga menegaskan bahwa alasan ketidaksiapan industri tidak seharusnya dijadikan sebagai alasan terus-menerus. Penundaan yang berulang justru membuat perusahaan semakin sulit beradaptasi dengan regulasi ini.

“Industri tidak akan pernah menemukan waktu yang tepat untuk pajak baru jika terus ditanya soal kesiapan. Justru semakin cepat diterapkan, semakin cepat pula perusahaan dapat menyesuaikan diri,” Katanya.

Menurutnya, pajak karbon seharusnya sudah menjadi kebijakan yang berjalan normal sejak dua tahun lalu.

Baca Juga: Bahas Pajak Karbon, Menteri Lingkungan Hidup Bakal Segera Ketemu Menteri Keuangan

Dari segi penerimaan negara, potensi pajak karbon sebetulnya cukup besar. Dengan emisi karbon Indonesia mencapai 930 juta ton CO2e per tahun, berpotensi menghasilkan sekitar Rp 27,9 triliun tarif dengan tarif pajak karbon sesuai UU HPP, yaitu Rp 30.000 per juta ton CO2e.

Namun, realisasi penerimaan masih terbatas karena kebijakan ini hanya berlaku pada sektor tertentu, seperti Pembangkit Listrik Tenaga UAP (PLTU).

Andri menjelaskan bahwa sistem cap and trade serta cap and tax membuat tidak semua emisi dikenakan pajak. “Pada akhirnya, pajak karbon ini lebih mirip cukai yang beretujuan untuk menurunkan emisi, bukan sekedar menambah penerimaan negara,” tambahnya.

Seperti yang diberitakan KONTAN sebelumnya, Chatib Basri dalam acara SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 menyinggung kembali terkait penerapan pajak karbon sebagai strategi untuk memperbesar pendapatan negara sekaligus mendukung programm-program sosial.

Ia menyatakan bahwa kebijakan ini dapat dikaitkan dengan pengenaan cukai terhadap Bahan Bakar MInyak (BBM), sehingga hasil penerimaannya dapat dialokasikan untuk kepentingan sosial dan lingkungan.

Baca Juga: OECD Dorong Pemerintah Percepat Penerapan Pajak Karbon

Selanjutnya: Ini Lokasi dan Jadwal Samsat Keliling Bali untuk Kota Denpasar dan Gianyar 2025

Menarik Dibaca: Harga Emas Antam Anjlok Rp 13.000 Hari Ini 26 Februari 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×