kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pajak kaji pembebasan pajak basis UMP


Kamis, 20 Juli 2017 / 11:33 WIB
Pajak kaji pembebasan pajak basis UMP


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah mengkaji penerapan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan upah minimum provinsi (UMP) tiap daerah. Ada baiknya Ditjen Pajak memikirkan masak-masak manfaat dan mudaratnya, terutama bagi daya beli masyarakat.

Jika diterapkan, ketentuan ini memang bisa langsung menaikkan setoran pajak. Namun, beleid ini akan membebani masyarakat karena harus membayar pajang penghasilan (PPh) lebih besar, serta mengikis daya beli.

Kajian Ditjen Pajak ini tak lepas dari penurunan setoran PPh akibat kenaikan PTKP pada tahun lalu. Sebagai catatan, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016, batas PTKP naik menjadi Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan dari sebelumnya Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan. Besaran PTKP bertambah sesuai jumlah pertanggungan yang dimiliki wajib pajak. PTKP dinaikkan sebagai upaya untuk mendorong daya beli masyarakat.

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, kenaikan PTKP ini menggerus realisasi PPh dari daerah dengan UMP rendah. "Dengan (kenaikan) PTKP ini, penerimaan Kanwil Yogyakarta jatuh. Wajib pajak pribadi sangat turun karena banyak yang penghasilannya langsung di bawah PTKP," katanya, Rabu (19/7).

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal menambahkan, kenaikan batas PTKP itu telah menggerus penerimaan PPh Pasal 21 sekitar Rp 20,1 triliun. Yon menilai, penerapan PTKP berdasarkan UMP per daerah bisa jadi terobosan menaikkan setoran pajak. Sebab saat ini ada perbedaan signifikan dan disparitas pendapatan maupun rata-rata biaya hidup antar.

Namun Yon menyatakan, Ditjen Pajak tak akan gegabah menerapkannya. "Butuh kajian lebih dahulu," kata Yon. Lagi pula, kendati sudah di bahas secara internal, rencana ini harus dibahas dengan Menteri Keuangan.

Jangan gegabah

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, selain mengkaji dampak perubahan aturan PTKP, Ditjen Pajak sedang mengkaji pedoman sektoral PTKP masing-masing daerah. Dia tidak menjelaskan kapan kajian akan selesai.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA ) Yustinus Prastowo menilai ide tersebut bisa diberlakukan. Sebab, penerapan PTKP yang mengikuti dengan ketentuan UMP bisa mendekati biaya hidup riil masyarakat di daerah. "Jadi perlu dibuat zonasi. Usul, dibuat tabel dari persentase UMP," kata Yustinus.

Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi berharap Ditjen Pajak tidak gegabah mengeluarkan aturan dan pernyataan terkait pajak. Hal itu bisa menakut-nakuti dan membingungkan pengusaha sehingga bisa berdampak negatif bagi ekonomi. "Kami perlu konsistensi kebijakan," kata Sofyan.

Apalagi saat ini ekonomi dalam tren melambat akibat pelemahan daya beli. Jika PTKP dinaikkan daya beli masyarakat akan tergerus.


Harga komoditas pangkas rasio pajak

Rasio pajak (tax ratio) Indonesia saat ini hanya 10,3% dari produk domestik bruto (PDB), turun dari tahun 2015 yang sebesar 10,7%. Angka rasio pajak itu kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam yang sudah di atas 15%

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi beralasan, rendahnya tax ratio Indonesia disebabkan karena harga komoditas Sumber Daya Alam (SDA) yang rendah. Pasalnya, dalam tax ratio juga turut memperhitungkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). "Tax ratio kita turun karena harga SDA menurun," ucap Ken di Jakarta, Rabu (19/7).

Penerimaan SDA terus menurun setiap tahunnya. Ken menjelaskan, persentase SDA terhadap tax ratio pada tahun 2011 mencapai 2,73%. Setelah itu turun setiap tahun menjadi 2,62% pada 2012, 2013 sebesar 2,13%, 2014 sebesar 2,28%, 2015 sebesar 0,87% dan 2016 tinggal 0,51%.

Sedangkan menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama, upaya meningkatkan tax ratio ini bukan hanya tugas Ditjen Pajak, melainkan juga masyarakat. Jika masyarakat tertib dan patuh membayar pajak, rasio pajak pasti akan meningkat pesat. Ini akan mendukung target tax ratio yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar 16% pada 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×